Jodha berada di kamarnya setelah selesai dari Meena Bazar. Ia tampak murung namun ia mengatakan pada Moti bahwa dirinya hanya lelah. Moti menyisir rambutnya dan mereka berdua bercerita seperti biasanya. Jodha membenarkan ucapan Moti yang mengatakan bahwa Hamida adalah mertua terbaik, “Hmm.. Dan lihat bagaimana anaknya. Moti, menurutmu apakah Yang Mulia adalah orang yang baik?”
Moti menanyakan dalam hal apa. Jodha sedikit kesal, “Jangan berlagak. Kau sebenarnya sudah tahu apa yang aku maksudkan. Mari kita bicarakan apa yang terjadi saat Meena Bazar. Dia sangat tidak seimbang dan memihak dalam mengambil keputusan. Dia memberikan perhatian yang berlebihan kepada Benazir.”
Moti menimpali bahwa Jalal bisa melakukan apapun semaunya, “Kenapa itu menjadi masalah buatmu?”
Sementara dikamarnya, Jalal sedang berbaring dan Salima membantunya menyelimutinya. Jalal berterima kasih. Salima mengucapkan salam kemudian pergi.
Jalal menatap cermin yang tak jauh dari tempat tidurnya. Didalam cermin terlihat Jodha yang membelai rambutnya. Jalal berkata sambil menatap cermin, “Aku lega bisa melihatmu iri pada Benazir. Tak ada salahnya jika aku berlaku sedikit tidak adil. Aku ingin lihat, apa yang akan kau lakukan.” Jalal berbaring dengan tersenyum puas.
Maham berada dikamar Ruqaiya dan seperti biasanya Ruqaiya setengah berbaring sambil menghisap hookah. Maham mulai meracuni fikiran Ruqaiya dengan mengatakan bahwa Hamida sudah mulai perhatian kepada Jodha dan itu tidaklah baik, “Hari ini dia memeberikan kalung pusaka kerajaan dihadapan semua orang kepada Jodha. Kau sudah melakukan banyak hal untuk Jalal dan kerajaan ini, Tapi dia belum pernah memberimu sesuatu sampai hari ini. Kau adalah ratu kepala, kau yang lebih pantas mendapatkannya, bukan Ratu Jodha.”
Ruqaiya menimpali dengan santai bahwa Hamida tak memberikannya karena ia tahu dirinya tidak menyukai kemewahan. Maham sampai frustasi, “Ini bukan masalah perhiasan. Ini masalah dia lebih menyayangi Jodha. Anggap saja dia memujinya karena idenya. Namun ini jug tanda, bahwa ia menginginkan Ratu Jodha supaya melahirkan ahli waris kerajaan. Dengan memberikan perhatian kepada Ratu Jodha, itu berarti dia mulai meragukanmu.”
Ruqaiya mengingatkan Maham Anga sebagai Ibu angkat Jalal dan Perdana Mentri, seharusnya dia lebih memikirkan administrasi kerajaan dan Jalal. Ia merasa Jodha bukanlah ancaman baginya.
Maham menekankan bahwa disitulah kesalahan Ruqaiya. “Aku adalah pendukungmu Ratu Ruqaiya. Aku tidak ingin ada seseorang diantara dirimu dan Jalal. Terutama jangan sampai dia adalah seorang Rajput.” Maham Anga menekankan setiap kata-katanya. Ruqaiya menunduk dan tampak memikirkan ucapan Maham Anga. Maham Anga menyelesaikan ucapannya dan kemudian pergi.
Hoshiyar menanyakan apa Ruqaiya ingin tidur. Ruqaiya mengatakan bahwa ia tidak mengantuk. Hoshiyar memintanya untuk tidak memikirkan ucapan Maham Anga, “Semua orang di istana sudah mengetahui keretakan Yang Mulia dan Ratu Jodha. Hari ini Ratu Hamida menyelamatkannya untuk menutup keretakan ini. Kalau tidak, maka Ratu Jodha akan diperlakukan tidak adil lagi.”
Dengan menahan kekesalannya Ruqaiya menyangkalnya, “Kau tidak akan mengerti. Ratu Jodha kehilangan pengaruhnya karena Benazir. Tapi harus aku katakan bahwa Maham Anga tak sepenuhnya salah. Jalal telah memberi julukan koohinor kepada Benazir. Tapi dia tetap pelayan. Dia tidak akan bisa melahirkan putra mahkota. Itu sebabnya, ibu menaruh harapan pada Ratu Jodha. Pilih kasih ini, tidak hanya sekedar merendahkanku, tapi juga merendahkan Jalal.”
Hoshiyar menanyakan apa Ruqaiya akan membicarakan masalah ini dengan jalal. Jika demikian, pasti Jalal akan mengira bahwa Ruqaiya cemburu.
Ruqaiya tertawa, ia fikir bahwa Jalal tidak akan tahu masalah ini jika ia tidak memberitahunya. “Maham Anga yang akan melakukannya untukku. Maham Anga lebih bernafsu merendahkan Ratu Jodha daripada aku. Karena Maham Anga ingin balas dendam atas apa yang terjadi pada Adam Khan. Biarkan Maham Anga yang mengurus masalah ini. Aku akan menyaksikan mereka berkelahi.”
Jodha masih bersiap-siap untuk tidur dibantu oleh Moti. Mereka masih membicarakan tentang Benazir dan Jalal. Moti terus memuji Benazir yang cantik, pandai melukis, pandai bermain pedang, pandai menari, bahkan pelayan di Hareem berfikir bahwa Benazir adalah orang yang baik.
Jodha tersentak merasa kesakitan, ia meminta Moti untuk berhenti memuji Benazir dihadapannya, “Apakah kau belum pernah melihat wanita yang lebih cantik dari dia?”
Moti merasa bingung dengan sikap Jodha. Ia meminta Jodha untuk bercerita padanya karena ia adalah temannya. Jodha sangat nyaman bercerita dengan Moti, dan ia dengan leluasa bercerita padanya, “Moti, menurutku Yang Mulia terlalu berlebihan pada Benazir. Tak butuh waktu lama bagi yang Mulia untuk memberinya julukan koohinor. Menurutku dia sengaja melakukan itu agar aku iri padanya. Dia fikir aku akan terpengaruh dengan hal itu?”
Moti membenarkannya, “Meskipun dia telah diberi permata, tapi kau telah diberi kalung pusaka kerajaan. Tentu saja dia terpengaruh. Kau faham, kenapa kalung itu diberikan kepadamu?” Jodha meminta Moti berhenti memikirkan hal itu. Ia ingin beristirahat dan menyuruh Moti pergi.
Jodha sudah berbaring, namun fikirannya terus teringat kejadian Meena Bazar. Ia kembali duduk, “Tuhan, kenapa aku begitu gelisah? Yang Mulia memastikan aku bermasalah haari ini. Dan sekarang aku tak bisa tidur karenanya."
Di kamarnya, Benazir mengamati koohinor yang telah diberikan oleh Jalal saat di Meena Bazar. Ia begitu yakin bahwa Jalal menganggapnya istimewa karena diantara istri-istrinya, dirinya lah yang dipilih untuk menerima koohinor tersebut.
Zakira mengingatkannya, “Jangan berpuas diri, hanya karena dia memberimu sebuah permata. Kita masih harus melalui perjalanan sebelum mencapai tujuan kita.”
Benazir membenarnya, namun ia dengan yakin bahwa Jalal mulai menyukainya, “Pelan-pelan aku berhasil merayunya. Dia mulai melirikku diantara yang lain.”
Zakira kembali menyanggahnya, “Mungkin kau salah disitu. Jika memang dia mulai tertarik padamu, dia akan datang ke kamarmu malam itu. Tapi dia menolak datang kemari. Sebaliknya, dia menyuruhmu pergi ke Angoon Bag.”
Benazir masih dengan ke percayaan dirinya, “Memang benar dia menolak datang ke kamarku saat itu. Tapi dia tak akan lagi bisa menolak undanganku. Dia tak akan bisa menghidar dari kamarku selamanya.”
Maham Anga datang menemui Benazir di kamarnya. Ia mengingatkan Benazir bahwa sebuah permata dan julukan Koohinor tidak akan begitu berarti. “Selama Ratu Jodha masih ada didalam kehidupan Yang Mulia, kau hanya seorang pelayan baginya, yang kebetulan diberi gelar julukan olehnya.”
Benazir menanyakan apa yang harus ia lakukan. Maham Anga dengan ambisinya mengatakan, “Kau harus sangat licik. Kau harus berbuat sesuatu yang membuat kau membutuhkan perlindungan Yang Mulia terus menerus.”
Benazir mengatakan bahwa ia akan mencobanya. Maham Anga kembali mengingatkannya bahwa Jalal tidak memiliki hati namun ia memiliki otak. “Kau harus mengerti bagaimana cara kerja otaknya. Namun kau dianugerahi senjata yang tidak cocok untuk ini. Kecantikanmu. Apa yang harus kau lakukan adalah mengikuti perintahku. Itu bukan hanya memastikan kau menjadi kesayangan Yang Mulia, tapi itu akan memastikan kau akan tetap berada dalam buku catatan baikku. Dan pastinya, itu akan membawamu pada posisi yang menguntungkan.” Benazir, Maham Anga dan Zakira tersenyum setelahnya dan Maham Anga langsung pamit.
Benazir masih berlagak, “Kau dengar itu Zakira, dia ingin agar aku menjadi pionnya.” Zakira tersenyum, “Biarkan saja dia seperti itu. Saat dia menyadari bahwa dia adalah pionmu dalam permainanmu, itu sudah sangat terlambat.”
Benazir menatap permata ditangannya kemudian menunjukkan tatapan ularnya yang siap menyerang mangsanya.
Maham Anga datang ke kamar Jalal. Jalal saat itu masih terjaga. Maham Anga mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan apa yang terjadi hari ini. Jalal masih bingung, ia menyuruh Maham Anga duduk disampingnya dan mengatakan apa yang terjadi.
Maham Anga mengatakan jika Adham Khan dipenjara ia masih bisa menerimanya karena memang ia bersalah, namun ia tidak bisa menerima jika ada orang yang menghina Jalal karena ia sudah menganggap Jalal sebagai anaknya sendiri. Jalal menanyakan siapa yang telah berani menghinanya.
Maham Anga terkejut dan melanjutkan ucapannya dengan sedikit keras, “Kau tidak tahu? Ratu Jodha telah menghinamu! Ratu Jodha telah menginjak-injak harga dirimu dengan memberikan sebuah ayunan didepan semua orang! Maaf jika aku mengatakan ini. Menurutku ia melakukan itu untuk menghinamu dengan memberimu ayunan hanya karena kau belum menjadi seorang ayah. Dia memusuhimu seakan kau ini Maham Anga.”
Maham Anga menghapus air matanya, ia memelankan suaranya, “Maafkan aku Jalal. Aku tahu kau sangat terluka. Namun aku lebih terluka saat melihatmu diperlakukan seperti ini. Dan parahnya, aku tidak bisa melakukan apapun. Jalal, mungkin kau tidak suka mendengarnya dariku. Namun aku akan tetap mengatakan apa yang ada didalam fikiranku. Menurutku Ratu Jodha, sedang mencoba membalas kematian tunangannya, Pangeran Suryaban Singh. Pasukan Mughal yang bertanggung jawab atas kematiannya. Ratu Jodha pasti sangat membencimu saat kau menyerang Amer. Kau juga tahu itu. Tapi setelah datang ke Agra, walaupun sudah menghabiskan begitu banyak waktu denganmu, dia belum bisa berhenti membencimu. Aku bisa menerima jika dia membenciku, aku hanya seorang pelayan di istana ini. Tapi kau... Kau adalah Raja. Terlebih lagi kau adalah suaminya, kenapa dia memperlakukanmu seperti ini? Aku adalah ibu inangmu. Aku melihatmu tumbuh menjadi seorang Raja. Aku tidak bisa melihatmu dihina. Kau memanfaatkan Benazir untuk mempermalukan Ratu Jodha. Tapi Ratu Jodha justru menghinamu dengan mempertanyakan kejantananmu Jalal. Kejantananmu.”
Jalal sudah termakan ucapan Maham Anga. Ia membenarkan perkataannya, ia berfikir bahwa Jodha telah memanfaatkan kebaikan ibunya dan berusaha menjatuhkannya, “Aku akan menghentikan tindakannya.”
Maham Anga berkata dalam hati, “Aku tidak tahu apakah Ratu Jodha memanfaatkan posisinya sebagai kesayangan Ratu Hamida. Tapi aku akan selalu memanfaatkan, kenyataan bahwa aku adalah kesayangan Jalal.” Maham Anga menyuruh Jalal tidur dan kemudian beranjak pergi.
Pagi telah tiba, Atgah Khan memberitahukan perkembangan politik yang terjadi, namun Jalal tidak berkonsentrasi, fikirannya terus tertuju pada Jodha. Ia tersadar saat Atgah Khan menayakan apa Jalal sedang melamun. Ia melihat kedatangan Jodha dan meminta Atgah untuk membicarakan nanti.
Setelah kepergiannya, Jalal mencari-cari keberadaan Jodha. Jalal terkejut karena ternyata Jodha sudah ada disampingnya. Dengan ketus Jalal mengatakan bahwa ia tidak ingin berbicara dengan Jodha. Jodha menimpali bahwa ia ingin memberi Jalal sesuatu. Jalal kesal, “Apakah tidak cukup kau memberiku ayunan kemarin.”
Jodha berusaha bersabar. Ia duduk dan meletakkan nampan yang dibawanya. Ia menyentuh tangan Jalal namun Jalal langsung menariknya. Jodha masih berusaha bersabar, “Ambil prasad ini. Aku baru saja dari kuil dan melihatmu disini. Jadi aku kemari untuk memberimu prasad. Jangan menolak sebuah prasad.”
Jalal membuka telapak tangan kemudian dengan cepat dan mencuilnya kemudian memakannya. Jodha menanyakan apa yang membuat Jalal tidak suka. Jalal masih kesal, “Kau menghinaku dengan sikapmu!” Jodha tidak mengerti. Jalal melanjutkan, “Kau ingin aku jelaskan padamu? Kau kira aku tak mengerti kenapa kau memberiku sebuah ayunan? Dengan memberiku ayunan itu berarti kau menghinaku karena aku belum bisa menjadi seorang ayah.”
Jodha bangkit dengan cepat, “Ini menjadi bertolak belakang. Setelah melihat kalung itu, ibumu memberiku hadiah kalungnya. Tapi kau, justru menganggap ayunan itu sebagai sebuah ejekan. Masalahnya bukan terletak pada ayunan, melainkan terletak pada cara pandangmu.”
Jalal yang awalnya setengah berbaring langsung duduk. “Jadi kau berfikir bahwa aku yang salah?”
Jodha membenarkannya, “Kau anggap harapan baikku sebagai sebuah ejekan. Begitu pula dengan lukisan Benazir. Sebagus apa lukisannya hingga kau menjadikannya sebagai pemenang. Lukisanmu itu bahkan tidak akan laku jika dijual dipasar. Tapi kau malah menobatkannya sebagai pemenang. Jadi masalahnya memang pada sudut pandangmu.”
Jalal tersenyum, “Kenapa tak kau akui saja bahwa kau tidak suka jika aku memberi sesuatu yang lebih dibanding dirimu?”
Jodha menunduk, “Aku kira tidak begitu. Namun, semua orang diistana berfikir bahwa kau sedikir berlebihan kepada Benazir.” Jalal masih dengan kekesalannya, “Ratu Jodha, aku adalah seorang Raja. Aku tidak perlu menjelaskan kepada semua orang atas tindakan dan pilihanku. Sudut pandangmulah yang salah. Aku percaya padamu. Aku selalu membelamu. Tapi apa balasanmu padaku? Kau mempermalukan aku dihadapan semua orang di Meena Bazaar. Kau pertanyakan kejahatanmu! Kau bukan hanya menghina seorang Raja, tapi kau juga menghina suamimu! Sebagai seorang suami, aku juga berhak meminta beberapa hal darimu. Tapi kau menolakku juga. Sebelum mengkritikku, kau harus ingat apa yang telah kau lakukan. Renungkanlah hal itu bahwa kau selalu menyalahkanku.”
Jodha ingin menjelaskan sesuatu namun Jalal memberinya isyarat untuk diam. Jodha mengambil nampannya dan pergi dengan kesal. Jalal melihat Jodha sudah tidak ada disampingnya. Ia kembali memakan prasad pemberian Jodha dan perasaannya bercampur antara kesal dan kehilangan. **Lihat ekspresi Shahensah bikin senyum-senyum sendiri** Abaikan**
Moti menghampiri Jodha yang duduk didepan meja rias dan duduk dihadapan Jodha. Jodha menanyakan kemana saja Moti tadi. Moti mengatakan bahwa ia menyiapkan air mandi untuk Jodha kemudian berkeliling, “Aku bertemu Bella Bay wanita yang menjual ramuan kecantikan. Dia menjual saleb baru hari ini. dia bilang, bahwa salepnya akan membuat kulit seseorang menajdi berkilau. Dia bisa menambah kecantikan seseorang. Saleb itu mengandung minyak yang sangat bagus untuk kulit. Semua orang membelinya.”
Jodha menanyakan dimana salebnya. Moti mengatakan bahwa ia tidak membelinya, “Aku mengatakan padanya bahwa Ratu Jodha tak membutuhkan salep apapun untuk membuatnya lebih cantik. Ia sudah tampak sangat cantik.”
Jodha menimpali, “Oh aku tahu! Sampai kemarin kau tidak bisa berhenti memuji Benazir.” Jodha memindahkan rambutnya ke depan, “Ceritakan padaku Moti, apakah orang-orang benar-benar memuji kecantikan Benazir?”
Moti membenarkannya, “Tapi penampilan bukanlah segalanya. Itulah sebabnya, kau yang memperoleh pusaka keluarga, bukan dia.”
Jodha membenarkannya namun ia masih murung, “Yang Mulia memberikan permata pada Benazir.”
Moti: “Menurutku kau terlalu mengkhawatirkan Benazir.”
Jodha menyangkalnya, “Aku tidak mencemaskan Benazir. Aku sedang memikirkan apa yang dikatakan Yang Mulia. Setelah mendengar apa yang dia katakan. Aku dipaksa mengakui bahwa kau telah salah dalam menilai dia. Aku tidak suka dengan apa yang dia katakan. Namun sepertinay dia sedikit ada benarnya. Bisa saja aku salah memberi tanda padanya. Aku ingin membicarakan ini padanya. Aku fikir aku harus meminta maaf padanya atas semua tindakanku. Tapi dia belum siap bicara denganku.”
Moti berpendapat bahwa Jodha kurang keras berusaha. Jodha terlalu memikirkan Benazir bukan Jalal. “Aku yakin kau akan segera menemukan jalan keluar.”
Jodha sependapat dengan Moti, “Aku harus berkonsentrasi pada Yang Mulia.”
Sinopsis Episode yang lain >klik disini<