Rahim menarik tangan Jodha sehingga membuat Jodha berlari. Rahim kemudian menantang Jodha dan menyuruh Jodha mengejarnya.
Rahim sampai dihadapan Jalal besera Jodha yang membawa selimut. Jalal berkata dihadapan Rahim namun matanya melirik Jodha, “Ku kira kau datang sendiri kesini.”
Jodha pamit pergi namun Rahim menghentikannya. Ia mengajak Jodha dan Jalal bermain layangan karena mereka berdua dapat menerbangkan layangan. Jodha mengingatkan Rahim bahwa cuaca sedang dingin dan Rahim bisa sakit jika terlalu lama berada diluar.
Rahim dengan bangganya berkata, “Kalau Yang Mulia tahan dengan dingin, maka aku juga tidak akan kedinginan. Bukankah begitu Yang Mulia?” Jalal menimpali, “Rahim, jika aku mengatakan bahwa aku kedinginan, apakah kau akan percaya? Semua orang sedang kedinginan saat ini. Jika Ratu Salima melihatmu bermain diluar saat cuaca sedingin ini, dia akan menjewerku.”
Rahim menimpali dengan lucunya, “Kukira kalian tidak ingin bermain denganku. Tapi tidak masalah musim dingin akan segera berlalu. Saat cuaca sudah menajdi hangat, apakah kau mau bermain denganku?” Jalal menyetujuinya. Tak lama kemudian seorang pelayan datang dan mengatakan bahwa Ratu Salima mencari Rahim. Rahim kesal dibuatnya, “Ahh.... Dia selalu mencariku.” Jodha dan Jalal tertawa kecil melihat kelucuan Rahim.
Setelah kepergian Rahim, Jodha menghampiri Jalal, “Dingin, bukan?” Jalal membenarkannya. Jodha sedikit mendekat, “Aku meminta ayahku untuk mengirimkan selimut ini dari Agra. Bagaimana menurutmu.” Jodha mengulurkan tangannya yang tersampir selimut. Jalal memuji kainnya yang indah dan memiliki motif yang bagus, “Kau tidak akan kedinginan jika memakai selimut ini.”
Jodha berjalan ke belakang Jalal dan memakaikan selimut itu dibahu Jalal, “Baguslah, pakailah ini jiika kau suka. Aku sanagt bersyukur karena kau menyukainya.”
Jalal menimpali, “Aku lah seharusnya yang berterima kasih. Aku sudah memikirkan hadiah apa kira-kira yang bisa melindungi Benazir dari cuaca yang dingin.” Jodha terperangah mendengarnya. Jalal melepaskan selimutnya dan mengelusnya, “Sekaranga aku telah menemukannya. Benazir pasti akan suka dengan selimut ini.”
Benazir bersama Zakira berjalan di taman. Zakira membenarkan pertanyaan Benazir, bahwa Jalal menyukai taman dan ia menghabiskan waktunya ditaman.
Ada seorang pria mengahmpiri mereka dan menegur tukang kebun yang memperbaiki taman, “Kenapa kalian berada ditenagh Jalal. Apakah kalian tidak tahu siapa dia? Dia adalah kesayangan Yang Mulia.” Pria itu mengajak Benazir ke suatu tempat karena ada yang ingin ia bicarakan. Ia melarang Zakira untuk ikut, namun Zakira menolaknya karena ia akan melindungi Benazir. Akhirnya pria itu memperbolehkannya.
Pria itu mengajak Benazir dan menunjukkan jalan lain. ia berkata bahwa ia menyukai Benazir sejak pertama kali melihatnya. Benazir menyuruhnya untuk berbicara hal lain, ia sudah terbiasa mendengar pujian itu, “Setiap pria yang melihatku pasti akan jatuh cinta padaku.”
Mereka berhenti berjalan. Pria itu terus mengatakan bahwa ia berbeda, “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Maukah kau bersamaku malam ini?” Zakira menyela, “Kau tidak boleh bersikap kurang ajar padanya. Jangan memanfaatkan posisimu untuk ini. Dia adalah kesayangan Yang Mulia. Aku akan melaporkan siakpmu ini pada Yang Mulia.” Zakira menarik tangannya, “Ayo ikut aku menghadap Yang Mulia.”
Pria itu menegur Zakira supaya tidak ikut campur. Kali ini Benazir yang menyela, “Namanya Zakira. Jangan meremehkan kemampuannya. Dia tahu bagaimana caranya melindungiku. Kau akan menyesal melakukan ini padaku. Aku tahu bagaimana caranya aku melindungi diirku sendiri.” Pria itu meminta maaf dan memintanya untuk tak melaporkan pada Jalal. Benazir menyetujuinya dan Pria itu pun langsung pergi.
Zakira menegur Benazir mengapa tidak melaporkannya kepada Jalal. Namun Benazir dengan santainya berkata, “Aku kesini untuk sebuah tujuan, aku tidak ingin mencari musuh. Lagi pula itu bukanlah salahnya. Semua pria yang melihatku pasti akan terpesona dengan kecantikanku. Sekarang hanay Jalal yang belum bisa aku taklukkan.” Zakira tersenyum mendengar penuturan Benazir.
Seseroang sedang bercermin mempersiapkan diirnya seperti Benazir. Namun ternyata itu adalah Javeda. Javeda meanri didepan cermin dan Resham yang masuk ke kamarnay sampai tercengang dan menahan tawanya.
Maham Anga sampai terkejut saat melihat penampilan Javeda. Javeda dnegan konyolnya justru menari-nari dihadapan Maham Anga dan memuji dirinya sendiri, “Aku cantik kan Ibu? Aku tidak kalah cantiknya dengan Benazir. Aku yakin, jika aku keluar dengan penampilan seperti ini, pasti semua lelaki akan terpesona padaku seperti mereka terpesona dengan Benazir.”
Maham Anga menimpali, “Javeda, jika kau keluar dengan perhiasan seperti ini seseorang bisa melempar mata jahatnya padamu.” Javeda salah mengartikan ucapan Maham Anga sebagai pujian, “Ya Allah. Aku tidak tahu kau begitu khawatir padaku. Tapi tenanglah ibu. (Javeda menyentuh tahi lalat Resham kemudian menyentuhkannya di kepalanya) Tahi lalat ini akan melindungiku dari sifat jahat mereka.” Javeda masih menyebut dirinya tak kalah cantiknya dengan Benazir.
Maham Anga menahan kekesalannya, “Semua orang terpesona dengan kecantikan Benazir. Tapi kau hanya akan membuat dirimu terlihat bodoh! Kau tak butuh kecantikan, kau butuh kecerdasan.”
Javeda: “Untuk apa kecerdasan Ibu. Kecerdasan hanya dibutuhkan perdana menteri, sedang sebagai seoranga ratu, dia hanya butuh kecantikan.”
Maham Anga berteriak, “Diam! Kau jangan keterlaluan Javeda. Aku rasa cukup. Ganti pakaianmu sekarang juga.”
Javeda: “Ya Allah. Aku harap kau tidak iri dengan kecantikanku.”
Maham Anga melongo dan melihat Resham yang menahan tawanya. Maham Anga berkata dengan nada mengancam, “Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak segera berganti pakaian?”
Javeda: “baik, aku akan berganti pakaian. Kau tidak perlu mengancamku. Menurutku kau perlu makan gula. Agar kau bisa sedikit manis.” Javeda pergi dengan kesal.
Setelah kepergian Javeda, Resham menghampiri Maham Anga, “Nyonya, saat pernikahan Adham Khan dengannya, apa yang kau lakukan?”
Maham Anga hendak menamparnya namun ia menahannya, “Penampilan itu menipu. Kecerdasan tidak bisa diukur dari penampilannya.”
Resham: “Saya setuju. Tapi bukankah bagus jika Javeda selalu ceria dengan hal-hal kecil dalam hidupnya?”
Maham Anga membenarkan ucapan Resham. Namun baginya lebih penting untuk mengatur negaranya, “Lebih mudah untuk mencapai kesuksesan, dibanding dengan mempertahankannya. Bagaimana aku tetap dianggap baik oleh Yang Mulia, jika para ratunya terus mempengaruhinya? Dan aku tidak bisa duduk manis begitu saja, sebelum aku mendapatkan apa yang aku mau.”
Benazir sampai dikamarnya dan Zakira langsung menutup tirainya. Zakira sudah mempersiapkan peralatan untuk Benazir mengirim surat. Ia menulis surat yang ditujukan kepada Ibunya. “Ibunda tercinta, apa yang bisa aku lakukan? Tinggal jauh darimu, sunggunglah sangat berat. Tanyalah dirimu, bukankah kau merasakan hal yang sama? Bukankah menurutmu, ini benar-benar tidak adil? Sungguh aku merasa terombang-ambing. Tapi, aku tetap berusaha bertahan. Dari Benazir, Istana Agra.”
Zakira menanyakan apa ada yang bisa memahami isi surat Benazir. Benazir menyangkalnya, “Tidak. Apa yang aku tulis, berbeda dengan maksud sebenarnya. Orang berfikir bahwa aku hanyalah soal kecantikan. Mereka tidaka akan bisa melihat apapun diluar itu.” Zakira tertawa kecil kemudian ia menagtakan akan mengirim surat tersebut kepada Ibu Benazir secepatnya.
Pria yang sebelumnya menggoda Benazir, mendata barang-barang yang akan dikirimkan keluar Istana. Ia juga mendapati surat Benazir yang ingin dikirimkan kepada Ibunya. Sebelum petugas lain meletakkan barangnya sesuai tujuannya, ia menyerahkan surat itu kepada pria itu terlebih dahulu. Pria itu bergumam bahwa Benazir adalah kesayangan Yang Mulia jadi ia tidak boleh mengganggunya. Ia membaca surat yang ditulis Benazir. Ia tak menyangka jika Benazir menulis surat kepada ibunya dengan kata-kata kiasan. Ia mengambil kertas dan menutupnya diatas surat Benazir kemudian memabca surat tersebut secara menurun, “Tugasku belum se le sa i.” Pria itu terkejut karena ternyata Benazir datang ke istana untuk suatu tugas rahasia. “Dia menggunakan kecantikannya untuk mengecoh semua orang.”
Benazir datang ke kamar Jalal, sebelum masuk ia meminta izin kepada Jalal. Jalal tampak tak bersemangat, namun ia mengizinkannya masuk. Benazir duduk dihadapan Jalal tanpa diperintahkan Jalal. Ia berkata, “Maafkan aku Yang Mulia jika aku lancang. Sebagai pelayan istimewamu, seharusnya aku tidak perlu meminta izinmu untuk bertemu denganmu.” Jalal mengingatkannya, “Jangan lupa Benazir, bahwa aku adalah seorang Raja. Ada beberapa aturan dan etika yang harus diikuti di istana ini.”
Benazir melihat Jalal yang tidak bersemangat, “Tapi tidak apa. Aku akan menceriakanmu.” Ia menuangkan minuman untuk Jalal. Namun Jalal menolaknya, “Aku sedang tidak ingin minum minuman keras.”
Benazir langsung menoleh kearah Jalal dengan cepat. Ia menyentuh tangan Jalal dan membelainya, “Hidupmu. Aku ingin mencuri sedikit waktu dalam hidupmu. Aku kemari untuk mencuri hatimu. (Benazir hendak membelai kepala Jalal namun Jalal menghentikannya) Namun aku dengar kau seseoang yang tidak memiliki hati.” Jalal menjawab dengan tak bersemangat, “Hati memang berharga. Namun aku sudah memberimu sesuatu yang jauh lebih berharga.”
Benazir menyetujuinya. Ia kemudian beranjak dan berpindah ke belakang Jalal dan menyentuh pundaknya, “Meskipun sebagai pelayan, namun kau telah memberiku lebih. Apalagi yang bisa aku minta darimu? Jika aku punya cara untuk membalas perhatianmu, aku akan sangat gembira melakukannya.”
Jalal duduk untuk membebaskan dirinya, “Aku sangat lelah hari ini Benazir. Kau boleh pergi. Aku akan memanggilmu jika aku ingin bertemu denganmu.” Benazir pun beranjak dan berjalan keluar dengan anggun.
Jalal kembali tidur dengan setengah berbaring. Ia mengambil minuman yang dituangkan Benazir untuk mencuci tangannya yang dipegang Benazir tadi. “Tujuanku bukanlah untuk mendapatkan Benazir, aku hanya ingin membuat Jodha cemburu.”
Jalal sedang bersantai ditaman dengan beberapa pelayan yang berada didekatnya. Seorang pelayan masuk dan memberitahukan bahwa Jodha meminta izin untuk berbicara dengannya. Jalal mengizinkannya masuk.
Jodha masuk dengan membawa nampan yang berisi obat. Jalal menyambutnya dengan posisi yang masih setengah berbaring, “Aku tahu Ratu Jodha, kau akan datang membawakan salep untukku setelah mendengar bahwa aku terluka. Kau boleh mengoleskan salepnya.” Jodha menimpalinya dengan sinis dan tanpa menatapnya, “Kau punya banyak pelayan kesayangan yang bisa melayanimu. Kenapa tak meminta mereka untuk mengoleskan salep pada lukamu?”
Jalal tersenyum dan menyuruh pelayannya pergi. Jalal berkata dengan tanpa rasa bersalah, “Aku ingin mengucapkan terima kasih padamu. Benazir sangat menyukai hadiah yang kau berikan.”
Jodha kesal, “Itu hadiah untukmu. Ayahku mengirimkannya dari Amer untuk diberikan kepadamu. Kalau aku tahu kau akan memberikannya kepada orang alin, aku tidak akan pernah memberikannya padamu.”
Jalal: “Maaf kalau begitu Ratu Jodha. Aku tidak bisa minta pada Benazir untuk mengembalikan selimut itu padaku. Sebagai seorang Raja, aku tidak pantas melakukan itu.”
Pelayan mengumumkan kedatangan Ratu Hamida. Jodha langsung mengambil nampannya dan berpura-pura sibuk dengan obat yang diabwanya. Jodha memberi salam kepada Hamida yang sedang panik untuk mengetahui kondisi Jalal. Ia menyegah Jalal yang ingin bediri untuk menyambut Hamida. Hamida duduk disamping Jalal dan menanyakan kondisinya. Jalal mengatakan bahwa ia hanya terluka saat bermain pedang, ia berkata sambil melirik Jodha, “Seorang Mughal biasa terluka.” Jalal berusaha mengambil perhatian Jodha, “Ibu jangan khawatir. Ratu Jodha sudah membawakan salepnya. Dan dia memaksa untuk mengoleskan sendiri salepnya. Aku sudah bilang padanya, bahwa ini adalah tugas pelayan. Dia tak perlu melakukan itu.” Jodha menatapnya dengan jengah.
Hamida tersenyum, “Kali ini, kau tidak faham alasan dibelakang itu, Jalal. Seorang istri selalu ingin merawat suaminya.” Hamida menyuruh Jodha untuk mengoleskan salepnya. Jalal masih dengan sandiwaranya, “Aduh Ibu. Dia adalah ratu istana ini.” Namun Hamida tetap menyuruh Jodha untuk mengoleskannya. Jodha tak dapat menolak perintah Hamida. Ia menurutinya dengan kesal dan menghentakkan nampannya sambil menatap Jalal.
Jodha langsung duduk dibawah didekat Jalal. Mereka berdua tidak berbicara namun dapat berinteraksi melalui mata mereka.
Jalal: “Kau harus melakukan apa yang aku ingin kau lakukan. Aku bisa membuatmu melakukan apapun yang aku mau.”
Jodha: “Tak akan ku biarkan kau melakukan ini jika saja ibu tidak ada disini.”
Jalal: “Aku selalu punya cara. Aku senang sekali bisa melihatmu selalu dalam masalah.”
Ratu Hamida pamit pergi dan sebelumnya berkata bahwa Jodha akan merawatnya. Sekepergian Hamida, senyum Jodha langsung lenyap dan beranjak dengan cepat, “Menurutmu apa yang kau lakukan? Kau pikir aku akan diam saja?”
Hamida tiba-tiba kembali dan Jodha jadi kelabakan. Jalal mengadu pada Ibunya seperti anak kecil, “Ibu, dia memarahiku.” Sesaat Jodha kebingungan dan segera menemukan dalihnya, “Aku harus melakukannya. Dalam kondisi terluka seperti ini dia malah ingin pergi jalan-jalan. Bukankah dia suka ngeyel?” Jalal tersenyum lebar mendengar pembelaan Jodha.
Hamida membenarkan ucapan Jodha. Hamida memberitahukan bahwa ia lupa menagatakan sesuatu, “Aku dapat kabar dari Kabul bahwa Mirza Hakim akan datang kemari.” Jalal sudah mendengar hal itu dan menambahkan bahwa Mirza akan sampai 2 hari lagi.
Jalal bangun dan Hamida berusaha menahannya. Jalal beralasan bahwa ia harus melakukan tugasnya sebagai raja. “Luka ini tak boleh menghentikanku. Ada banyak hal yang harus dikerjakan dipersidangan.” Hamida menanyakan bagaima Jalal kesana. Jalal menimpali dengan tersenyum dan sambil melirik Jodha, “Ibu tenang saja. Ratu Jodha akan membantuku kesana. (Reflek Jodha langsung menatapnya tak percaya) Dia akan memapahku sampai kepersidangan.” Jodha menatap Hamida yang tersenyum dan Jodha pun ikut tersenyum. Jalal mengulurkan tangannya, “Ayo Ratu Jodha, bantu aku.”
Hamida menatap kepergian mereka berdua.
Jodha mengistirahatkan Jalal di sebuah tempat duduk, “Kau sangat rewel. Ibu bilang kau tidak boleh jalan dulu.
Jodha duduk dibawah, “Kau lebih pantas sebagai pemain sandiwara daripada menjadi seorang Raja. Kau suka sekali berpura-pura. Kau manfaatkan Ibu untuk memaksaku mengoleskan salep pada kakimu. Kau tahu, dihadapan Ibu aku tak mungkin menyangkalmu.”
Jalal mengatakan bahwa Ibunya sudah tidak ada disana dan menanyakan menagpa Jodha masih membantunya. Jodha menimpali bahwa ia melakukannya karena Jalal sedang sakit, “Sudah tugasku untuk membantumu.”
Jalal melihat kedatangan Benazir, “Jangan khawatir ratu Jodha, aku tahu siapa yang bisa membantuku sekarang.” Jodha menahan kekesalannya melihat kedatangan Benazir. Benazir mengantakan bahwa ia datang kesana setelah mendengar Jalal terluka. Jodha yang menjawabnya, “Benar. Jangan khawatir. Lukanya sudah dirawat. Dan lukanya akan segera sembuh.” Benazir menahan kekesalannya namun ia terpaksa tersenyum. Jalal tersenyum karena berhasil membuat Jodha cemburu.
Jodha bangkit, “Kalau begitu kau tak membutuhkanku lagi saat ini.” Jodha mempersilahkan Benazir dengan isyarat tangannya.
Jalal mengulurkan tangannya, “Benazir kemarilah, tolong bantu aku.” Jodha yang sudah melangkah pergi menoleh kebelakang dan tampak bahwa ia benar-benar tak menyukai kedekatan mereka. Kemudian dia melanjutkan langkahnya. Jalal melihat kepergian Jodha, “Benazir, aku kira kau boleh pergi sekarang. Aku bisa sendiri.” Jalal melepaskan rangkulannya kemudian berjalan pergi dengan tertaih-tatih.
Benazir menatap kepergian Jalal, “Aku tahu, kau memanfaatkanku untuk membuat Ratu Jodha cemburu. Aku hanya ingin lebih dekat denganmu. Aku harus menemukan cara untuk memikatmu. Sebelum semuanya terlambat.”
Sinopsis Episode yang lain >klik disini<