FROM YM TO YOUR HEART
Part 4
~~~~~
Jumat 23/03/13
Rashed Jalal : Apa kau sudah dengar kabar dari meja managermu?
1 jam yang lalu
Rashed Jalal : Jodha Aadhya, apa kau sedang sibuk?
30 menit yang lalu
Rashed Jalal : Jodha Aadhya?
~~~~~
Jodha menatap bodoh layar monitornya yang terus berkedip-kedip selama satu jam terakhir. Matanya terbuka lebar, tapi otaknya mengembara entah kemana. Berkas-berkas pekerjaannya tersusun rapi di atas mejanya, bukan karena sudah selasai dikerjakan tapi karena belum disentuhnya sama sekali sejak jam pertama dia masuk kantor hari ini. Kebisingan di sekitarnya tidak mampu menerobos masuk alam sadarnya. Dia hanya duduk manis dengan sebelah tangan menyangga dagunya dan tangan satunya memain-mainkan pena di antara jemarinya.
Sebenarnya dia sudah tidak ingin mengingatnya, tapi otaknya dengan keras kepala memutar kembali dan kembali semua adegan yang terjadi semalam, lebih tepatnya insiden tak terduganya dengan seorang pria tak dikenal yang, entah kenapa, begitu berkesan bagi dirinya. Jodha bahkan bisa mengingat setiap obrolan, semua perlakuannya, setiap menit yang dilaluinya, setiap tarikan napasnya bahkan aromanya, seakan pria itu masih ada di dekatnya saat ini. Bahkan sejak semalam, dia sulit tidur karena pikirannya penuh dengan ingatannya akan pria itu. Otaknya sudah seperti pita kaset rusak yang hanya memainkan lagu yang sama berulang kali. Jangankan saat memejamkan mata, saat matanya masih terbuka yang terlintas selalu saja hal yang sama.
Pagi ini lebih parah lagi, rasa penasarannya akan sosok pria itu hampir membuatnya mengabaikan semua ajaran moral dan susila dalam dirinya. Pertemuan pertama mereka di dalam elevator memunculkan dugaan bahwa pria itu juga bekerja di Golden Building. Andai saja dia tidak punya pengendalian diri yang kuat, maka Jodha akan berkeliling di setiap lantai gedung ini untuk mencari pria itu.
Lalu akal sehatnya bertanya pada hatinya, ‘Siapa pria itu hingga mampu menjungkir balikkan duniamu padahal kau sudah bertunangan?!’...
Plakk...serasa ditampar keras saat dia ingat bahwa dia wanita yang sudah terikat. Sungguh tidak pantas seorang wanita memikirkan pria lain selain tunangannya, itu dikategorikan sebagai perselingkuhan, meski tidak ada hubungan romatis yang terjalin di antara mereka.
Begitu pikirannya mendapatkan pencerahan, Jodha segera berkonsentrasi kembali pada pekerjaannya. Sudah mendekati akhir bulan, semua klaim pengeluaran harus sudah diklarifikasi dan masuk akun pembukuan perusahaan. Jodha hanya punya waktu dua hari untuk merekap laporannya, meski posisi managernya sedang dinonaktifkan, dia tetap harus menyusun laporannya dan diserahkan langsung pada Chief Finance. Itu memo terbaru perusahaan yang diumumkan sesaat lalu.
Target Jodha laporannya harus sudah selesai sebelum dua hari. Tidak akan lagi dia ijinkan dirinya memikirkan hal yang tidak pantas dia pikirkan. Meski sudah berkali-kali meyakinkan dirinya, tapi ingatan tentang pria itu sesekali menyelinap ke dalam pikirannya. Bahkan hal itu berlanjut saat dia makan siang bersama Varun, tunangannya.
Siang itu, Varun mengajak Jodha makan siang di sebuah restoran cepat saji di Mumbay.
“Jodha...Kau mendengarku kan?” tanya Varun mengejutkan Jodha yang lagi-lagi melamun.
“Eh...tentu saja...” jawabnya dengan senyum sedikit dipaksakan.
“Apa kau sedang memikirkan sesuatu?”
“Tidak..” jawabnya berbohong.
Mana mungkin dia menceritakan pada Varun kalau dia sedang melamunkan seorang pria dan ciuman ‘hampir saja tapi ternyata bukan’ nya semalam.
“Apa kau memikirkan tentang pernikahan kita? Kau tahu, aku sudah berkali-kali berbicara dengan ayahku untuk merubah keputusannya meminta mahar 200 ribu rupee untuk pernikahan kita...tapi ayahku tetap bersikeras...kuharap kau tidak keberatan dengan jumlah sebesar itu... Aku sudah tidak sabar untuk menikah denganmu..” Varun menjelaskan dengan manisnya.
“Aku juga ingin segera menikah denganmu, tapi mengumpulkan uang sebesar itu tentu aku butuh waktu sedikit lebih lama...Kuharap kau bisa bersabar menunggu..” jawab Jodha, sebenarnya siapa yang berusaha diyakinkannya, Varun atau dirinya sendiri.
Memang tidak semudah yang dibayangkan untuk mengumpulkan 200 ribu rupee, apalagi uang itu harus disisihkannya dari gaji bulanannya. Tapi dia tidak punya pilihan, tidak mungkin baginya membatalkan rencana pernikahan hanya karena masalah mahar. Dia dan Varun saling mencintai dan tidak terpikir olehnya untuk menikah dengan pria lain.
Jam makan siang sudah hampir selesai, Jodha bangkit diikuti oleh Varun.
“Eh sayang...kau yang bayar dulu ya, lagi-lagi Ibuku membawa kartu kreditku untuk berbelanja...” pinta Varun dengan manisnya
“Tentu..” jawab Jodha tanpa keberatan.
“Jangan lupa nanti malam kita nonton film, sepulangmu dari kantor...” Varun mengingatkan Jodha.
Seperti itulah kencan makan siang mereka. Bagi orang lain mungkin terlihat hambar, tapi bagi Jodha, ini adalah kencan idealnya. Tidak perlu hal-hal romantis atau spektakuler seperti dalam drama, karena baginya hal seperti itu hanya untuk remaja dan bukan untuk wanita dewasa seperti dirinya. Tidak perlu ada lonjakan perasaan dan kata-kata cinta memabukkan, karena sebagian besar isinya hanya omong kosong. Cukup hal-hal normal yang terkesan akrab dan masuk akal untuk dilakukan bersama.
Sisa hari itu dilaluinya dengan mulus, tanpa interupsi dari ingatannya tentang semalam. Berhasil menyelesaikan satu laporannya, dia rapikan mejanya dan menutup pekerjaannya. Malam ini dia ingin menikmati akhir pekannya bersama Varun.
Jam di arloji Jodha menunjukkan pukul 21.15, sudah kelima kalinya dia melirik jarum jam yang berputar dengan sangat lambat. Jodha berdiri di sebuah ujung blok di Ghandi Boulevard, menunggu, dengan sedikit tak sabar, Varun datang menjemputnya. Seusai mereka nonton film di bioskop, Varun terpaksa meninggalkan Jodha sementara di tempat itu karena harus membantu ayahnya yang mobilnya mogok di jalan, lima blok dari tempatnya menunggu. Varun berjanji akan menjemputnya kembali dan mengantarnya pulang usai mengantar ayahnya.
Jalanan mulai sepi, orang-orang yang lalu lalang pun mulai berkurang. Angin malam juga mulai terasa dingin dan lembab di kulitnya, dia hanya berharap malam ini tidak akan turun hujan sebelum dia sampai di rumahnya.
“Hai, lady...kau sedang menunggu siapa?”
Jodha terlonjak kaget saat seorang pria, ralat, tiga orang pria tiba-tiba sudah mengelilinginya. Dari tatapannya, mereka sepertinya bukan orang baik-baik. Pria yang pertama kali bicara tadi mulai mencolek-colek tangannya... Firasat buruk.
“Ka..kalian mau apa?”
Jodha memucat....Keringat dingin mulai meluncur di wajahnya...Jantungnya mulai berdetak tak beraturan.... Tubuhnya lemas.... Dia mundur selangkah, tapi buntu, di belakangnya sudah ada pria yang lain menghalangi. Dia sendirian, jangankan melawan, melarikan diri saja dia tidak akan punya kesempatan....Otaknya serasa menciut karena ketakutan yang teramat sangat...
Matanya membelalak lebar menatap ketiga orang itu bergantian. Tenggorokannya tercekat...tak bisa berteriak... meski berteriak sekuat tenaga, masih adakah orang yang mau menolongnya?....Tidak ada satupun orang atau kendaraan yang lewat....
Jodha makin terpojok....Mereka memepetnya ke dinding sebuah toko yang sudah tutup....Dia hanya bisa berpegangan pada tali tas bahunya...’Ya Tuhan, hanya kau yang bisa menolongku sekarang.’ Doa Jodha dalam hati sambil memejamkan matanya rapat-rapat, berharap ada dewa penolong yang datang.
“Sayang, apa kau sudah lama menungguku?”
Terdengar suara seorang pria beberapa langkah di belakangnya. Deg. Seketika Jodha langsung membuka matanya....’Varun?!....Syukurlah....Tunggu..tunggu, itu bukan suara Varun, tapi...’ hati Jodha bertanya-tanya.
Jodha masih membelakangi suara itu, tapi dia bisa mendengar langkah-langkah tegap sepasang kaki yang mendekat....Dia belum berani menoleh... Lima...Empat...Tiga....Dua langkah lagi semakin dekat....Lalu sebuah tangan kekar merangkul pundaknya...
“Hhhk..” tubuh Jodha menegang...Dia tersentak karena sentuhan itu. Saat dia menarik napas karena terkejut, saat itu pulalah aroma yang sangat dikenalnya terhirup oleh indera penciumannya...
Pelan-pelan, dengan kecepatan satu langkah per lima detik, Jodha menoleh ke arah kanannya, tempat pria itu berdiri dengan mantap merangkul pundaknya.
Bola mata Jodha hampir keluar karena dia terlalu lebar membelalakkannya, namun disambut dengan sebuah senyuman di wajah pria yang seharian ini menguasai akal sehatnya.
‘Pria ini...apa dia sudah tahu situasi apa yang kuhadapi?...Apakah karena itu dia memanggilku sayang? Itu semua pura-pura kan?’ Jodha berusaha bertanya dengan isyarat matanya, karena mulutnya tak berani bersuara...Tapi pria itu masih tersenyum seolah-olah ini pertemuan biasa yang dilakukannya setiap hari...
“Sayang, ayo kita pulang.” Ajak pria itu. Tangannya yang merangkul pundak Jodha menekan dan membalikkan tubuhnya.
Belum sempat melangkah, jalan mereka kembali diblok oleh dua dari tiga pria tadi.
“Tunggu dulu, Tuan... Tidak semudah itu...” kata salah satu pria itu sambil meletakkan tangannya di dada pria penolong Jodha.
Ketiga preman yang mencegat Jodha, kesemuanya memiliki badan yang besar, tapi pria penolongnya ini juga memiliki badan yang tak kalah besar. Hanya saja jumlah mereka yang tak seimbang. Karena itulah mereka dengan mudah mengintimidasinya.
“Apakah ada masalah?” tanya pria di sebelah Jodha, berpura-pura bodoh.
“Berikan semua milikmu, maka kau bisa pergi!!”
“Apa yang kami miliki yang kau inginkan?” tanyanya lagi. Jodha yang berdiri di sebelahnya hanya bisa diam gemetaran, tubuhnya makin mengkerut ketakutan.
“Gelangnya, anting, dompet kalian.” Perintah salah satu preman sambil tangannya menunjuk ketiga barang yang dimaksud.
“Baik, kami akan berikan....Sayang, lepas gelang dan antingmu!” katanya pada Jodha.
“Tapi...”
“Lepaskan saja...” kata pria itu lebih menekankan kata-katanya.
Dengan tangan gemetar, Jodha melepaskan gelang dan anting dari telinganya. Dengan berat hati diserahkannya kedua perhiasan itu beserta dompetnya pada preman-preman yang memalak mereka. Pria di sebelahnya juga mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan diserahkan juga pada mereka.
“Ayo, sayang...” ajaknya lagi, ingin segera lepas dari mereka.
“Mobilmu juga!” pria yang sedari tadi diam berdiri di belakang Jodha, akhirnya juga ikut bicara.
“Jangan sentuh mobilku!” Jodha terkejut dengan naiknya nada bicara pria di sebelahnya, sepertinya dia mulai kehilangan kesabaran hingga mengatakan itu dengan menekankan setiap katanya dengan jelas.
Jodha melirik takut ke sampingnya. Pria yang tangannya masih merangkul pundaknya itu, tubuhnya lebih tinggi darinya hingga dia harus sedikit mendongak. Dari samping, Jodha bisa melihat samar-samar otot-otot leher pria itu tertarik menegang, rahangnya mulai mengeras dan sorot matanya menyipit, seperti orang yang sedang mengumpulkan kekuatan dan siap bertarung.
Atmosfer di sekitar mereka berlima mulai meningkat panas. Ketiga preman sepertinya juga mulai ancang-ancang menunjukkan kekuatan mereka. Lalu....
Salah satu preman mengeluarkan pisau lipat dari balik punggungnya dan mengacungkannya ke dada pria calon korbannya itu. Jodha menjerit tertahan dan mundur selangkah karena ngeri dan takut melihat kilatan pisau yang teracung .... tapi pria di sebelahnya tidak.
Dia tetap berdiri menantang mereka.
Entah siapa yang memulai atau apa yang memicu, dalam sekejap keempat pria itu terlibat dalam pertarungan.... Jodha yang terlambat bereaksi, sempat terjebak di tengah-tengah, tapi kemudian dirasakannya sebuah tangan menarik dan mendorongnya ke pinggir, menjauh dari pukulan, tendangan dan sabetan pisau.
Seperti orang tolol, Jodha hanya sanggup berdiri diam...bingung tak tahu harus berbuat apa....menjerit minta tolong? Suaranya masih tertahan di kerongkongannya, tak mau keluar... Melarikan diri? Tidak mungkin dia meninggalkan pria yang menolongnya.... Menolong? Lebih tidak mungkin lagi, dengan cara apa dia akan menolong... Dia hanya bisa berdiri di pojok, melindungi tubuhnya sendiri dari kemungkinan kena salah pukul.
Sempat ada beberapa kendaraan lewat, tapi begitu melihat ada perkelahian, mereka cepat-cepat tancap gas menjauh. Pejalan kaki yang hendak lewat jalan itu langsung berputar balik memilih jalan lain. Tak seorang pun terpikir untuk melerai apalagi menolong.
Pria penolongnya itu ternyata mampu bertarung sehebat itu. Jodha yakin kemampuan beladiri seperti itu tidak mungkin hanya didapat dari bermain game online. Kemampuan di level itu pasti hasil dari latihan keras selama bertahun-tahun....
Satu per satu preman-preman itu roboh tersungkur ke beton trotoar. Sumpah serapah keluar di antara suara erangan dari mulut mereka. Pria misterius itu merapikan bajunya yang berantakan karena duel tadi. Dirampasnya kembali dompet miliknya dan milik Jodha serta perhiasan yang tadi sempat ada di tangan mereka.
“Ini! Untuk mengobati luka kalian.” Dikeluarkannya uang 100 rupee dari dompetnya dan dimasukkan ke saku pakaian salah satu preman.
“Ayo kuantar pulang.” Perintahnya pada Jodha dan berjalan menduluinya.
Jodha bergegas menyusul langkahnya.
“Hey.....Kenapa kau memberi mereka uang?”
“Untuk mengobati luka atau untuk membeli makanan. Terserah mereka.”
“Bagaimana kau tahu mereka butuh uang?”
“Karena aku pernah hidup di jalanan.”Jawaban terakhir itu sama sekali tak diduga. Langkah Jodha sampai terhenti karena tak percaya dan tak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Cepat masuk!.” Pria itu sudah membukakan pintu mobil untuk Jodha.
“Eh...tidak usah, aku sedang menunggu seseorang disini.” Jodha menjelaskan dengan setengah hati.
“Oke..sampaikan salamku pada ketiga orang tadi kalau mereka datang lagi.” Jawabnya acuh...
Tanpa menunggu lagi...
“Aku ikut.” Teriaknya ketakutan dan melesat masuk ke dalam mobil.
Jodha salut pada pria ini, dalam situasi menegangkan seperti ini, dia tetap berprinsip pada norma kesopanannya sebagai seorang pria, seperti saat ini, dia membuka dan menutup pintu mobil untuk Jodha sebelum dia sendiri masuk.
“Ehm..terima kasih sudah menolongku tadi...apa kau kebetulan lewat di sekitar sini?”
“Ya.”
“Boleh aku bertanya?” pria itu diam tidak mengiyakan atau melarang.
“Kenapa kau baru melawan saat mereka akan mengambil mobilmu?... Kemampuan bela dirimu hebat, sepertinya kau bisa melawan mereka dari awal saat mereka mengambil perhiasan dan dompet kita....Maksudku, aku sudah ketakutan kalau mereka akan melukai kita berdua karena kupikir kau juga takut saat mereka mengancam...” Jodha tidak meneruskan kata-katanya...
“Mobil ini sudah bersamaku hampir 10 tahun. Kuanggap mobilku ini temanku yang paling setia. Orang menikah saja dianggap hebat kalau bisa saling setia selama itu....jadi pasti aku akan melindungi mobil ini karena kalau bukan aku, siapa yang akan melindunginya....mobil ini kan tidak bisa melindungi dirinya sendiri....” kata pria itu panjang lebar.
“Tapi aku juga kan tidak bisa melindungi diriku sendiri, kalau kau langsung menghajar mereka kan aku tidak perlu ketakutan lama-lama...” kata Jodha pelan
“Nona Jodha Aadhya, apa kau pikir ini adegan Bollywood Movie?...Apa kau pikir aku bisa menghajar orang seenaknya?...Apa kau pikir aku tidak takut terluka?...Bagaimana kalau ternyata komplotan mereka lebih banyak?!... Atau bagaimana kalau mereka lapor polisi atas tindak penyerangan, malah aku berbalik jadi penjahatnya kan?!...Jadi, aku butuh alasan yang tepat untuk menghajar mereka. Tidak mungkin kan demi dirimu?! Aku tidak punya hak dan kewajiban untuk melindungimu....”
Jodha terdiam, semua perkataan pria itu benar. Dia terlalu memikirkan dirinya sendiri. Mungkin ini efek yang tersisa dari ketegangan tadi, hingga Jodha mencerocos tak karuan...
“Kau juga, kenapa kau suka sekali berdiri sendirian di tempat gelap seperti itu?”
“Eh...sudah kubilang, aku sedang menunggu seseorang.”
“Pacarmu?”
“Tunanganku.”
“Berarti tunanganmu bukan pria baik-baik.”
“Hey...” balas Jodha tersinggung.
“Kalau dia menghormati wanita, dia tidak akan membiarkan tunangannya menunggu, apalagi di tempat sepi, malam-malam, sendirian... Apa kau tahu aturan penting saat berkencan?”
“Adakah?” tanya Jodha setengah penasaran.
“Ya Tuhan, kau ini lugu sekali. Ada tiga aturan penting...Pertama, pria yang harus menjemput dan mengantarkan sang wanita sampai ke rumah. Kedua, pria yang membayar semuanya. Ketiga, jangan biarkan pasanganmu merasa bosan setiap acara kencan kalian. Apa pacarmu selalu melakukan ketiganya?”
“Tentu.” Jawab Jodha dengan dagu terangkat angkuh, meski dalam hati dia tahu itu bohong.
“Kau bohong.” Jodha ketahuan.... “Contohnya malam ini. Berapa lama kau sudah menunggu disana? Kenapa harus di tempat seperti itu? Dan...kenapa kau belum menelponnya sekarang?”
Jodha teringat, dia belum menghubungi Varun sama sekali. Sejujurnya dia bahkan tidak terpikir soal itu. Dia terlalu sibuk berdebat dengan pria di sebelahnya ini.
Jodha sedang merogoh-rogoh isi tasnya mencari ponselnya saat merasakan mobil itu berhenti... Tangannya berhenti mencari... Dia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tahu dimana mereka berada sekarang.
“Sudah, kau telepon saja dari rumahmu. Kita sudah sampai.” Ujarnya
Jodha sama sekali tidak memperhatikan jalan, dia tidak tahu kemana pria ini membawanya. Anehnya, jauh di bawah alam sadarnya, dia percaya penuh pada pria di sebelahnya, yang bahkan belum dia ketahui asal-usulnya, akan membawanya ke tempat aman. Dan tempat itu adalah rumahnya....
Pria itu sudah memarkir mobilnya, lagi-lagi tepat posisinya, di depan lobi gedung apartemen Jodha. Pria itu pun sudah membukakan pintu mobil untuknya saat Jodha masih sibuk merapikan tas dan rambutnya.
Jodha turun dan berdiri canggung di sebelahnya, ada hal yang ingin ditanyakannya tapi dia butuh sedikit waktu untuk mengatasi kegugupannya.
“Ehm...hey...kau sudah mengantarku pulang dua kali. Tapi aku belum tahu namamu.”
“Bukannya kau sudah memberiku nama...Hey...Hey...begitu kan kau memanggilku?!” jawab pria itu bercanda.
Jodha malu pada sikapnya. Dipikir-pikir lagi, pria misterius ini justru tingkah lakunya lebih sopan dari dirinya yang seorang wanita.
“Itu kan karena aku tidak tahu namamu. “ jawab Jodha tidak enak hati.
Pria itu hanya tersenyum misterius dan mempersilakan Jodha berjalan lebih dulu, seperti malam sebelumnya.... Hal yang sama terulang lagi. Jodha yang berjalan di depan...merasa salah tingkah, bibirnya kering, hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya.... Kebisuan ini justru lebih mengganggu daripada tadi saat mereka berdebat di dalam mobil....
Angin malam yang dingin meniupkan udara sejuk pada tubuhnya yang meremang hangat. Entah bagaimana Jodha merasa seolah-olah mata pria itu memandangi sekujur tubuhnya di balik punggungnya, mengirimkan getar-getar aneh yang dirasakannya dari ujung kaki hingga wajahnya. Tangan pria itu yang tadi sempat merangkul pundaknya, cengkeraman hangatnya pun masih terasa.
Di depan pintu apartemennya, Jodha berhenti dan mengetuk pintu....
“Kau sudah tahu namaku...jadi siapa namamu?” tanya Jodha
“Hey?” jawabnya jahil.. “kenapa kau penasaran sekali? Apa kau ingin menyebut namaku dalam mimpimu?”
Mulut Jodha bergerak-gerak lucu karena jawaban pria itu...
“Apa kau juga bekerja di Golden Building?”
“Kau akan segera tahu..” balasnya penuh teka-teki.
Jodha ingin bertanya lagi, tapi tertahan saat Ibunya membukakan pintu.
“Selamat malam Nyonya, saya mengantarkan putri anda pulang...” kata pria itu pada Ibunya dengan penuh hormat.
Setelah mengatakan itu, dia mengangguk dan berbalik pergi. Sekali lagi Jodha dibuat penasaran oleh pria itu...
*************