Love Protocol
Chapter 6
By Tyas Herawati Wardani
Katti masuk ke dalam apartemennya dengan perasaan lelah. Dia melepaskan syal yang melilit lehernya lalu menyampirkannya di gantungan topi dekat pintu masuk. Sepatu botnya terasa lembab karena cuaca dingin yang mulai menyelimuti kota ini.
Televisi sedang menyiarkan sebuah film drama romantis yang terasa memuakkan baginya saat ini, karena baginya cerita cinta hanya berakhir bahagia di dalam film, bukan dalam kehidupan nyata. Tapi ironisnya, hanya itu hiburan yang ada saat ini, seperti temannya yang juga sedang duduk menikmatinya bersama semangkuk besar popcorn.
“Pria itu masih ada di sana?” tanya Lola tanpa mengalihkan matanya dari depan layar tv.
“Iya.” Jawab Katti, tahu siapa yang dimaksud.
“Apa dia mengganggumu?”
“Aku dipecat.”
“Bukan gara-gara dia,kan?!” tanya Lola tak percaya .
Katti hanya bergumam tak jelas sambil menyeduh secangkir kopi dan membawanya duduk di samping Lola.
“Tapi tenang saja, Grand Hotel siap menerimamu kembali. Managermu datang sendiri kesini tadi, mengantarkan surat itu untukmu.” Ujar Lola sambil mengangguk ke arah surat yang tergeletak di atas meja kopi samping sofa.
Katti membolak-balik surat itu sebelum akhirnya membacanya.
“Bagaimana?” tanya Lola penasaran.
“Hotel memang memintaku kembali, mereka juga meminta maaf atas ‘kesalahpahaman’ kemarin. Sebagai kompensasi, mereka memberiku liburan gratis ke Geilo selama 3 hari...”
“Woow, kau beruntung sekali.”
“Ya, seakan aku tidak tahu siapa yang ada di balik semua ini.” Jawab Katti tak bersemangat.
“Siapa?”
Katti tidak menjawab, hanya mengangkat alisnya penuh arti.
“Pria itu?! Sungguh?!” Lola makin penasaran, “Dia bisa melakukan itu? Sehebat itukah dia? Siapa pria ini sebenarnya?”
“Coba ketiklah di browser-mu nama Mossef Faraj Yazeed.”
Lola langsung meraih ponselnya dan mengetikkan nama yang disebutkan oleh Katti. Matanya membelalak membaca informasi yang ditemukannya, bahkan dia sampai kehilangan kata-katanya.
“Pendiri Al-Khaarajj Group, inovator dalam bisnis textil dan garmen, investor di beberapa perkebunan zaitun.... well, well, mengatur managermu pasti cuma masalah kecil untuknya.”
Katti tidak berkomentar apa-apa, dia menyeruput kopinya sambil menatap kosong layar tv di depannya.
“Kukira dia hanya pria biasa dari masa lalumu...” imbuh Lola pelan lalu tiba-tiba teringat, “Lalu bagaimana dengan pekerjaan di hotel, kau akan tetap mengambilnya?”
“Aku berharap ada tawaran pekerjaan lain yang bisa menjauhkanku dari dia, tapi sayangnya kita butuh uang secepatnya untuk membeli pemanas baru, dan satu-satunya pilihan aku harus bekerja di sana lagi...” jawab Katti lemah.
“Apa kau masih punya perasaan padanya?” tanya Lola ingin tahu.
“Tentu saja tidak.” Sergah Katti.
“Kalau begitu bersikaplah acuh seperti yang biasa kau lakukan. Tunjukkan padanya kau tidak peduli, kau tidak punya perasaan apa-apa padanya, dan dia tidak lagi berpengaruh dalam hidupmu. Lama-lama dia akan bosan mengejarmu. Tidak masalah kau menerima liburan itu, karena kau bisa bersikap seolah kau tidak terkesan dengan caranya mendekatimu.”
“Begitukah menurutmu?” tanya Katti tidak yakin.
“Sebenarnya ada satu cara paling jitu untuk membuatnya pergi...”
“Apa itu?”
“Kau harus jatuh cinta pada pria lain.”
“Tapi kau tahu sendiri aku malas menjalin hubungan asmara dengan siapapun.”
“Setidaknya berpura-puralah seperti itu, hanya sampai dia percaya kalau dia tidak bisa berharap lagi padamu. Mungkin di Geilo kau akan menemukan pria yang bisa kau sukai...”
Katti memikirkan ide itu baik-baik.
Beberapa saat kemudian dia menghela napas dengan berat sambil berkata, “Andai saja masa laluku tidak menyakitkan dan begitu mengganggu seperti ini ...”
“Benar, kita sama-sama jadi wanita yang menyedihkan hanya gara-gara masa lalu...” timpal Lola membuat temannya menoleh heran.
“Masa lalumu juga begitu?! Tapi...kau belum pernah cerita.”
“Kalau aku cerita...mungkin aku terpaksa harus membunuhmu...” jawab Lola asal-asalan, tapi sontak membuat Katti membeku.
Lima detik kemudian, Lola tertawa terbahak-bahak, “Aku hanya bercanda....” ujarnya di antara seringai tawanya.
Katti perlahan ikut tertawa meski jantungnya hampir copot tadi.
Keesokan harinya, Katti memutuskan untuk menerima bonus liburan yang dijanjikan oleh Grand Hotel, tentu saja dia mengajak Lola ikut serta, karena menurut surat itu dia diijinkan membawa keluarga dalam liburan ini. Dan satu-satunya orang yang dia kenal hanyalah Lola.
Butuh setengah jam perjalanan udara dan dilanjutkan tiga jam perjalanan darat untuk mencapai Ski Resort Geilo dari kota Oslo. Pada pukul tiga sore mereka baru tiba di Resort mewah itu. Semburat merah matahari yang mulai turun ke peraduannya di balik pegunungan Geilo, menyambut kedatangan mereka serta memberi nuansa mewah dan hangat yang melatari keindahan pemandangan Resort tua itu.
Resort Geilo adalah resort bintang lima yang telah berdiri sejak lebih dari 20 tahun yang lalu. Memiliki kurang lebih 40 jalur ski, Geilo termasuk resort ski kelas dunia. Di samping itu, jalurnya yang aman dan relatif mudah menjadi tujuan favorit bagi tiap keluarga yang ingin menikmati olahraga ski.
Katti dan Lola disambut dengan ramah. Sang resepsionis bahkan sudah menyiapkan kunci kamar mereka. Sebuah suite mewah dengan pemandangan terbaik ke arah pegunungan Geilo. Jendela-jendela kaca tinggi mengelilingi kamar tersebut seakan ruangan mereka begitu menyatu dengan alam yang menjadi latarnya.
Ada dua kamar tidur dengan ranjang besar pada masing-masing kamarnya. Sebuah jacuzzi melengkapi kemewahan suite tersebut. Karpet-karpet tebal dan lembut terhampar di tiap sudut sejauh mereka melangkah. Pencahayaan yang sempurna membuat suite itu paling cocok untuk pasangan yang sedang berbulan madu. Tersedia berbagai macam makanan di dalam lemari pantry kecil di salah satu sudut, cukup bagi siapapun yang memilih mendekam di dalam kamar selama satu minggu.
Setelah puas mengagumi semua kemewahan fasilitas hotel di suite mereka, kedua gadis itu sepakat akan menikmati liburan gratis ini, bersenang-senang dan melupakan semua masalah kehidupan mereka sehari-hari walau hanya untuk sejenak.
Hal pertama yang akan mereka lakukan adalah menikmati makan malam di luar sambil berharap ada pria menarik yang akan mendekati mereka.
Dengan dandanan terbaik, mereka melangkah masuk ke restoran hotel. Katti tidak lagi terkejut saat dilihatnya Mossef sudah ada disana. Dia sedang duduk bersama seorang pria yang pernah dilihatnya bersama pria itu di Grand Hotel.
Kali ini, Katti sengaja tidak menghindar saat Mossef berjalan mendekatinya.
“Katti, aku senang sekali melihatmu. Hotel juga memberiku bonus liburan...” sapa Mossef dengan ceria.
“Sudahlah, dia bukan orang bodoh.” potong Lola cepat, “Atas nama Katti, kami menghargai kebaikanmu, tapi bukan berarti kau bisa mengatur apa dan bagaimana kami akan menjalani liburan ini. Ditambah lagi, kami sudah hapal apa yang diinginkan seorang pria saat dia mulai pamer kekayaannya...”
“Oh, aku tidak... aku tidak bermaksud seperti itu....” Mossef sedikit gugup, tapi matanya tidak pernah lepas dari Katti, seakan-akan ada penyesalan disana.
“Kalau begitu kami ingin menikmati makan malam ini dengan tenang, bisa?” sahut Lola ketus.
Mossef mengangguk dan Katti berjalan melewatinya. Lalu pria itu mengikuti di belakangnya. Lola hendak menyusul tapi langkahnya terhalang oleh teman Mossef. Posturnya yang tinggi dan kokoh, serta wajah yang dingin, membuat Lola sedikit salah tingkah. Belum-belum dia sudah kesal dibuuatnya.
“Hola jiraffa, esta bloqueando mi camino.” (Hai jerapah, kau menghalangi jalanku) hardik Lola ketus dalam bahasa Latin.
Pria itu mengangkat sebelah alisnya, tidak mengerti. Dan Lola melewatinya begitu saja.
Mereka duduk berempat karena Mossef telah lebih dulu memesan meja untuk mereka. Makan malam berlangsung dalam suasana yang canggung, kalau tidak mau dikatakan datar. Masing-masing takut merusak kedamaian semu ini. Bagai lapisan kaca yang sangat tipis, sedikit retakan akan menghancurkan semuanya.
Belakangan mereka tahu, teman Mossef itu bernama Raouf Maliq, dan dia adalah tipe pria pendiam, tak banyak bicara tapi tatapannya setajam elang. Pandangannya seakan selalu menyelidik, setiap sudut dan semua orang. Dan Lola merasakan itu sekarang, tatapannya yang tajam seakan ingin menguliti semua rahasia dibalik jiwanya, dan itu membuatnya takut. Takut jika rahasia yang sekian lama disimpannya terbongkar.
Dan Lola mengutarakan kecemasannya itu pada temannya, setelah mereka berdua kembali ke kamar. Katti hanya bisa menyarankan agar Lola tidak terlalu memikirkannya. Mungkin itu hanya perasaannya saja. Bukankah mereka sudah bertekad untuk bersenang-senang kali ini, Katti mengingatkan Lola.
Pagi pertama liburan, mereka nikmati dengan menjajal kereta luncur salju. Adrenalin yang terpacu saat kereta meluncur dan meliuk-liuk di antara pepohonan cemara dan ek memberi sensasi pelepasan yang melegakan dalam setiap teriakan girang mereka.
Memang benar, untuk sejenak, Katti bisa merasa rileks dan tanpa beban, dia lupa akan masa lalunya, bahkan dia lupa Mossef masih ada disana dan terus mengawasinya. Katti tahu Mossef tak pernah melepaskan pengawasan atas dirinya, bahkan dia terus membuntutinya, tapi sepertinya pria itu menahan diri untuk tidak terlalu dekat dengan Katti.
Saat sarapan tadi, Mossef tidak memaksa duduk satu meja dengan Katti. Begitu pun saat makan siang. Dan saat makan malam, Katti duduk berempat bersama dua teman pria Lola yang baru saja dia kenal.
Katti coba mengikuti saran Lola dan berusaha ramah pada teman baru mereka, tapi rasanya sulit sekali. Apalagi, dari sudut matanya dia melihat tatapan tidak suka dari Mossef. Seharusnya itu bukan masalah, tapi kenyataannya tatapan itu terus saja mengusiknya.
Katti merasa lelah memikirkannya, bersikap seolah tidak peduli, tapi pikirannya hanya tertuju padanya, akhirnya dia putuskan kembali ke kamar lebih awal.
“Kau yakin?” tanya Lola saat Katti berpamitan.
“Ya, aku lelah setelah seharian ini ‘bermain-main’di luar..”
“Baiklah, apa perlu kami mengantarmu?”
“Tidak usah.” Potong Katti dengan cepat, “Kalian bersenang-senanglah...”
“Kami berencana ke pub setelah ini. Kalau kau berubah pikiran, bergabunglah dengan kami di sana.”
Katti mengangguk sambil tersenyum lemah. Kemudian dia berjalan pergi.
Katti sedikit terkejut saat tahu Mossef mengikutinya hingga masuk ke dalam lift. Mereka berdiri berjauhan, sama-sama diam, hanya bayangan mereka yang saling memantul dari dinding lift yang terbuat dari kaca.
“Mau kutunjukkan tempat yang indah?” tiba-tiba Mossef bertanya, memecah keheningan dalam kotak kaca itu.
“Tidak, terima kasih.”
“Aku jamin kau pasti menyukainya.”
“Aku lelah.”
“Tidak ada tekanan, tidak ada sentuhan... anggap saja ini juga termasuk paket liburanmu.”
Katti masih diam, Mossef pikir dia akan ditolak lagi, tapi kemudian...
“Baiklah..”
Ingin rasanya Mossef melompat-lompat, bersalto atau melakukan shuffle dance karena begitu senangnya, tapi dia tidak melakukan semua itu, dia hanya menghembuskan napasnya dengan sangat lega seakan seluruh ketegangannya luruh hanya dengan satu jawaban sederhana itu.
“Kau tidak akan kecewa.” Janji Mossef.
Mereka kembali turun ke lantai dasar. Pria itu berjalan di depan, dengan sesekali menoleh dan tersenyum pada Katti di belakangnya. Setelah keluar melalui pintu samping hotel dan melewati sebuah patio yang berhiaskan cahaya kelap-kelip dari puluhan lampu gantung, Mossef membawanya ke sebuah rumah kaca yang letaknya terpisah dari gedung utama hotel.
Begitu membuka pintu, semerbak aroma harum dari aneka bunga yang tumbuh di dalamnya menyeruak indera penciumannya. Aroma yang telah lama tidak bisa dinikmatinya. Aroma yang bisa melenakan pikiran dan membuatnya lupa diri. Mossef mengajaknya masuk dan membimbing jalannya di antara belasan rak yang berisikan pot-pot bunga beraneka warna.
“Duduklah di sini...” pinta Mossef sambil menunjuk ke salah satu kursi malas yang telah dilengkapi bantalan lembut di atasnya.
Katti menurut tanpa banyak bicara, mungkin ini efek dari aroma bunga-bunga itu, begitu pikirnya. Pandangannya menyapu ke sekelililing tempat itu. Selain aromanya, tempat itu juga ditata dengan sangat artistik. Warna-warna putih dan terang mendominasi seluruh bagian menciptakan suasana hangat yang pasti dibutuhkan saat musim dingin tiba. Ada beberapa kursi pendek lengkap dengan meja kopinya, sangat cocok untuk jamuan minum teh ataupun anggur.
Begitu mendongak ke atas, Katti sangat takjub memandang jutaan bintang yang terlihat jelas dari tempatnya berdiri. Atapnya yang terbuat dari kaca menyerap cahaya bulan dan menerangi seluruh ruangan itu meski tanpa lampu.
“Menakjubkan, bukan?! Kalau kita beruntung, kita juga bisa melihat aurora dari sini...” kata Mossef sambil tersenyum memperhatikan Katti.
Seperti terhipnotis oleh kedamaian suasana itu, tubuh Katti perlahan rileks. Dia berbaring dengan santai di atas kursi malas itu. Kepalanya rebah dan matanya memejam perlahan-lahan.
Andai saja hidup seringan perasaannya saat ini....
Ingin rasanya berbaring terus seperti ini, melepaskan semua kebencian, kecemasan dan kemarahannya. Hidup tanpa memikirkan masa lalu, saat ini apalagi masa depan....
Andai saja perasaan itu bisa diatur seperti saat kita menekan saklar lampu, on atau off....
Andai saja pria itu tidak lagi menarik, wajah penuh bintil, perut tambun dan mulutnya berbau busuk akibat alkohol. Tapi dia justru terlihat dewasa, jantan, tubuh yang liat dan suara yang bisa membuat telinga meleleh.... membuatnya tidak sanggup menahan godaan untuk...
Katti langsung terduduk. Dia merasa malu pada dirinya sendiri karena pikirannya yang melantur jauh. Pria itu duduk di depannya sambil tersenyum. ‘Apa dia tahu? Apa aku menyuarakannya keras-keras? Tidak mungkin. Itu hanya khayalanku saja’. Katti berusaha berdiri tapi tertahan oleh selimut hangat yang membelit kakinya.
‘Selimut? Aku tadi tidak...Apa aku ketiduran?!’ pekik Katti dalam hati sambil melirik gugup ke arah Mossef.
“Sudah berapa lama aku...?” tanya Katti sedikit gugup.
“Aku tidak menghitungnya. Tapi aku senang kau menikmatinya.” Jawab Mossef.
“Jam berapa sekarang?”
“Hampir tengah malam.” Jawab Mossef setelah melihat arlojinya.
“Aku harus kembali.” Sergah Katti lalu bergegas pergi.
Mossef berkeras mengantar sampai di depan suitenya meski Katti berulang kali menolak.
Begitu sampai di depan suite-nya, pada saat bersamaan, Lola datang bersama Raouf. Temannya itu sepertinya mabuk berat, karena jalannya sempoyongan. Katti mengerutkan kening karena heran, seingatnya tadi Lola pergi bersama dua teman pria, tapi sekarang dia kembali bersama Raouf.
Lola berjalan masuk melewatinya, tubuhnya limbung dan hampir jatuh, untung saja Raouf cepat memegangnya dan pria itu memapahnya terus ke dalam. Beberapa saat kemudian, Raouf keluar dan mengangguk pada mereka berdua.
Katti dan Mossef menyimpan pertanyaan yang sama dan tak terucapkan. Ekspresi mereka terlihat sama walau tidak ada yang merencanakannya. Biarlah itu menjadi urusan mereka berdua, pikir Katti. Setelah itu dia masuk dan menutup pintu, meninggalkan Mossef di luar.
Keesokan harinya, badai angin yang disertai hujan mengguyur wilayah sekitar resort, membuat pihak resort mengeluarkan peringatan kepada seluruh tamu untuk tidak melakukan kegiatan di luar.
Katti menikmati sarapannya pagi itu sambil memandangi Lola yang berulang kali memijat kepalanya yang pusing akibat mabuk. Dia belum bertanya apa-apa pada Lola soal semalam.
Dan dia juga tidak melihat Mossef dan Raouf pagi ini. Meski bukan berarti dia merindukannya.
Katti sedang membersihkan tangannya di ladies room saat tanpa sengaja dia mendengar bisik-bisik dua orang wanita berseragam hotel. Mereka menyebut-nyebut seorang tamu pria berwajah khas Timur Tengah yang tampan. Dari perbincangan keduanya, mereka sama-sama tertarik pada pria itu dan sedang berusaha menarik perhatiannya. Sayangnya pria itu hari ini sedang sakit, demam dan bibirnya pecah-pecah hingga berdarah. Itu adalah gejala bagi orang yang belum bisa beradaptasi dengan cuaca dingin.
Katti yakin mereka sedang membicarakan Mossef. Dan pria itu sedang sakit. Entah kenapa timbul rasa khawatir dalam hatinya. Dan tanpa sadar, dia turut menimpali obrolan mereka dengan memberi saran agar mereka mengantarkan salep pelembab miliknya pada pria itu, dengan permintaan agar mereka tidak menyebutkan tentang dirinya sama sekali.
Sebenarnya bukan hanya dua wanita itu yang terpesona pada Mossef. Dia tahu beberapa staf hotel dan para tamu wanita juga sering melirik atau terang-terangan mendekati Mossef. Dia bukanlah pria yang sangat tampan, namun aura jantan dan sikapnya yang terlihat dominan mampu menarik perhatian para wanita. Tapi sepertinya Mossef tidak pernah menanggapi mereka. Selama di depannya ada Katti, Mossef hanya memandang Katti. Harusnya dia bangga kan? Menjadi satu-satunya wanita yang diperhatikan pria itu. Tapi tidak, mungkin saja pria itu bersikap acuh pada wanita lain hanya demi mengambil hatinya.
Untunglah cuaca buruk itu hanya berlangsung satu hari. Pada hari ketiga sekaligus hari terakhir liburan mereka, cuaca sudah kembali normal, namun menyisakan timbunan salju tinggi yang menutupi jalan.
“Sejak kita disini, kita belum pernah mencoba landasan ski-nya.” bujuk Lola
“Aku tidak bisa bermain ski.” Jawab Katti pendek.
“Aku akan mengajarimu. Tapi kalau kau tidak mau, aku bisa carikan pelatih ski yang paling keren disini....”
Katti hanya tersenyum tipis sambil menikmati uap panas dari segelas susu di tangannya.
“Tidak perlu, aku bisa mengajarimu.” Timpal Mossef yang tiba-tiba saja sudah ikut duduk di meja mereka, begitu juga Raouf.
‘Rupanya dia sudah sehat.’pikir Katti
Campuran antara terkejut, lega dan terpana karena bertemu lagi dengan pria itu bertumpuk dalam hatinya. Untuk beberapa saat Katti hanya menatap Mossef. Pria itu terlihat cukup segar dan harum pagi ini membuat dadanya berdebar hangat.
“Ah, tidak....” tolak Katti.
“Kalau begitu aku tunggu di luar.” ujar Mossef sambil tersenyum, tatapan matanya terasa begitu hangat bagi Katti.
“Tapi Lola...” Katti masih menolak dan menoleh pada temannya untuk mencari dukungan, tapi sepertinya Lola juga sedang sibuk memandangi Raouf di seberang meja.
“Tidak ada tekanan, Katti. Aku hanya akan menunggumu disana.” Kata Mossef pelan lalu melangkah pergi.
Itu tawaran yang sangat menggoda. Tapi itu berarti dia akan berdekatan dengan Mossef. Dan dia tidak suka itu. Pesona pria itu bisa merusak pertahanan dirinya. Dan saat ini Katti tidak yakin lagi mengapa dia tidak suka berdekatan dengan Mossef, apakah karena dia masih membencinya? Atau dia takut akan jatuh cinta lagi pada pria itu?
Satu jam kemudian, Katti akhirnya memutuskan untuk menyusul Mossef yang sudah menunggunya di pintu masuk akses kereta gantung yang akan membawa mereka menuju trek ski pilihan. Lola sudah berangkat lebih dulu berpasangan dengan Raouf. Sedangkan Katti menyusul di belakangnya bersama Mossef.
Saat duduk berdua di atas kereta gantung, Mossef berbisik, “Terima kasih atas krimnya, harum morning sunshine kan?! Benar-benar khas dirimu.”
Katti tercekat, ‘Bagaimana dia bisa tahu? Tidak mungkin dua wanita itu memberitahunya.’
Belum sempat Katti bereaksi, Mossef sudah mengalihkan ke obrolan yang lain. Mungkin pria itu merasakan ketegangan dan ketidak nyamanan Katti, karena itu dia tidak ingin merusak momen indah ini. Cukup dengan mengetahui Katti masih peduli pada dirinya, membuatnya merasa hidup kembali, terbukti dalam sehari dia sudah kembali bugar.
Belajar meluncur dengan ski ternyata cukup sulit bagi seorang pemula. Katti harus berulang kali jatuh dan mencium dinginnya salju saat berusaha keras untuk meluncur dengan benar. Sebagai pelatih, Mossef mengajari dan mendampinginya dengan sabar. Sungguh tak bisa dipercaya melihat kemahiran Mossef dalam meluncur, padahal mereka sama-sama pemula.
Lalu muncullah Lola bersama Raouf, menantang mereka untuk meluncur berpasangan. Katti menolak karena dia baru belajar, tapi Mossef berkeras menerimanya. Hanya untuk bersenang-senang, begitu katanya. Dan Katti terpaksa menerimanya.
Pada awalnya, semua berjalan lancar. Mereka berempat meluncur dengan mulus sepanjang lintasan. Katti ada di posisi ketiga, dan meski Mossef sangat mampu menyalipnya tapi pria itu tidak melakukannya. Dia terus membuntuti di belakang Katti seakan pria itu menjaganya. Kemudian suasana sedikit berubah, Katti merasakan firasat kurang enak ketika tiba-tiba terdengar suara berisik seperti angin kencang yang bertiup di antara pepohonan.
Dan semuanya terjadi sangat cepat....
Pada saat Katti menoleh ke belakang, tepat saat itulah runtuhan salju dari tebing di atas mereka jatuh dan menimpa tubuh Mossef yang berada paling dekat dengan tebing. Katti berteriak sekuat tenaga memperingatkan Mossef, tapi suaranya teredam oleh suara gemuruh itu. Mossef tidak bisa menyelamatkan diri. Tubuhnya hilang tertimbun tumpukan salju setinggi lima meter.
Katti histeris. Dia berlari cepat ke arah timbunan itu dan mengorek-ngorek salju di depannya, berusaha menyelamatkan Mossef. Katti sama sekali tidak memperhatikan Raouf di sampingnya yang melakukan hal yang sama, atau Lola yang sibuk mencari bantuan dengan ponselnya. Yang ada di pikirannya hanyalah secepat mungkin menyelamatkan Mossef. Dia lupa tentang kebenciannya, dia lupa pada topeng yang selalu dikenakannya.
Katti tidak lagi mempedulikan keselamatannya sendiri, padahal bahaya longsor masih mengintai tempat itu, yang dia inginkan hanyalah meraih tubuh Mossef secepatnya. Harapannya makin tipis saat waktu sudah berjalan lebih dari 10 menit dan mereka belum menemukan tubuhnya. Katti menangis tanpa disadarinya karena panik.
Lalu Katti melihatnya, lengan yang menyembul di antara lapisan tebal salju. Dengan bantuan Raouf, Katti berhasil menariknya keluar. Dia makin panik melihat tubuhnya yang dingin dan tidak bergerak. Tapi dia melarang hatinya untuk ragu, Mossef pasti masih hidup. Katti menepuk-nepuk pipi Mossef untuk membuatnya sadar.
Petugas penyelamat yang datang, memindahkan tubuh Mossef ke atas brankar. Ada perasaan tidak rela dalam hati Katti, ‘Tunggu...Aku juga ingin melihatnya sadar...’.
Lalu, Katti melihatnya, tepat sebelum alat bantu bernapas terpasang di wajahnya. Bibir Mossef yang membeku dan pucat bergerak pelan, di antara helaan napasnya yang berat, Mossef membisikkan namanya...
Perasaan lega dan haru membuncah dalam hati Katti di sela ucapan syukurnya. Mossef pasti selamat. Dia yakin itu.
Lima jam menunggu tanpa kepastian, sebelum akhirnya dokter menyampaikan kondisi Mossef. Beberapa tulang punggung dan panggulnya retak, mengharuskannya untuk ditangani segera di rumah sakit di Oslo. Itu menandakan akhir dari liburan bersama mereka.
Katti bersama dengan Raouf mendampingi Mossef selama menjalani operasi hingga satu hari pasca operasi. Bagi Katti itu adalah hari-hari yang berat dan penuh ketegangan serta kecemasan. Hingga pada hari ketiga, Mossef mulai sadar dan diijinkan menerima tamu. Dan orang pertama yang ingin ditemuinya adalah Katti.
Sebenarnya Katti sudah cukup lega mengetahui keadaan Mossef berangsur membaik. Dia bersiap-siap akan pulang setelah mengetahui Mossef telah siuman, tapi Raouf berhasil membujuknya untuk mau menemui Mossef walau hanya sebentar.
Katti setuju dan menemui Mossef di kamarnya. Pria itu masih berbaring dengan selang infus masih menempel di tangan kirinya. Begitu mendengar suara pintu terbuka, Mossef menoleh dan tersenyum.
“Kemarilah...”
Mossef mengangkat punggungnya pelan-pelan ke posisi duduk yang lebih nyaman. Wajahnya sedikit mengernyit menahan sakit.
Katti berdiri di sebelahnya dalam diam. Meskipun dia tidak tega melihat kondisi Mossef saat ini, tapi dia tidak menunjukkannya.
“Maaf kalau aku merepotkanmu, tapi aku tidak akan pura-pura menyesal, aku bahagia sekali kau mau menemaniku melewatii ini semua.”
“Anggap saja sebagai rasa terima kasihku atas liburan gratisnya.” Jawab Katti pendek.
“Katti...” suara Mossef sedikit tercekat, “Jika kecelakaan ini bisa membuatmu menoleh padaku, aku tidak keberatan jika harus mengalaminya lagi.”
“Baiklah, sepertinya kau sudah cukup sehat. Aku juga sudah terlalu lama di sini.” dengus Katti, lalu memutar tubuhnya.
Tapi tangan Mossef lebih dulu menahannya.
“Terima kasih. Terima kasih sudah menolongku. Dan terima kasih sudah mencemaskan aku. Bermimpi pun aku tidak berani, apalagi mengharap kau masih memikirkan aku..”
Katti tersentuh dengan kata-kata itu, tapi dia bisa menyembunyikannya dengan baik.
“Siapa bilang aku mencemaskanmu.”
“Aku sempat mendengar kau meneriakkan namaku...” ujar Mossef sambil menatap Katti.
“Itu hanya khayalanmu saja.” dengus Katti
“Benarkah?”
“Menurutmu bagaimana lagi aku harus bersikap? Ada insiden terjadi di depanku, aku hanya bereaksi normal seperti orang lain.”
“Apa itu artinya kau sudah tidak membenciku lagi?” tanya Mossef, ada sedikit canda dalam nada suaranya.
“Aku masih membencimu, tapi bukan berarti aku menginginkan kematianmu.”
“Itu lebih dari cukup bagiku. Memberiku alasan untuk terus hidup dan memperjuangkanmu.” Lalu Mossef menambahkan, “Kebencianmu, aku bisa menahannya. Kemarahanmu, aku bisa menerimanya. Tapi jangan lagi menyangkal dan menjadi orang yang bukan dirimu. Hanya...tetaplah di sana. Aku yang akan mengejarmu, meski butuh waktu sampai akhir hidupku.”
“Tapi aku tidak ingin kau mengejarku. Jalan kita bersilang arah dan tidak ada persimpangan yang akan mempertemukannya. Kau adalah orang asing dalam hidupku saat ini. Jangankan mengenalmu, aku bahkan tidak tahu siapa diriku yang sebenarnya. Hidupku baru dimulai sepuluh tahun yang lalu.”
Mossef terdiam dengan perasaan sedih dan terluka. Dia sendiri yang menorehkan luka di hati Katti, tapi sekarang dirinya hampir tidak mampu menanggung luka itu.
Dia hanya bisa memandangi punggung Katti yang perlahan menghilang di balik pintu.
***********