Salima dan Rahim bersama dengan Mirza Hakim berada di Angoon bar. Mirza memberi hadiah spesial dari Khandar kepada Rahim. Rahim berterima kasih, “Kau baik sekali Paman.” Setelah memberi salam, Rahim pun beranjak pergi.
Mirza mengatakan pada Salima bahwa Rahim adalah anak yang baik dan periang. Salima menimpali, “Hari ini kau membuat semua orang bahagia. Tapi dari mana saja kau, kenapa tidak pernah kemari? Apakah kau tdak merindukan orang-orang disini?” Mirza menimpali bahwa ia juga merindukan Agra.” Mirza Hakim juga memberitahu Salima maksud kedatangannya ke Agra. “Sebelum aku datang kesini aku mendengar Abu Mali berbicara dengan seseorang dan bermaksud melakukan penyerangan dari dalam. Aku tidak tahu dengan siapa dia bersekongkol. Seteleh aku mengetahui hal itu, aku segera mengirim pesan tentang kedatanganku kemari. Nyawa Yang Mulia sedang dalam bahaya sekarang.”
Mendengar hal itu Salima cemas dan segera beranjak. “Lalu apa lagi yang kita tunggu. Kita harus memberitahu Yang Mulia.” Mirza Hakim menghentikannya, “Jangan terburu-buru Ratu Salima. Jika kita memberitahunya sekarang, maka pelaku sebenarnya akan tahu bahwa kita sudah tahu rencananya dan pelakunya akan sulit ditangkap. Tenanglah, aku sudah ada disini dan akan menemukan siapa orang itu.”
Maksood begitu kesal menunggu Benazir yang tak kunjung tiba. Tak lama kemudian, Benazir bersama Zakira datang ke Penjara tersembunyi dimana Maksood sudah menunggunya. Maksood meihat kedatangan Benazir dan menatap Zakira denga tatapan tidak suka. Benazir mengatakan bahwa ia takit datang sendirian jadi dia mengajak Zakira.
Maksood: “Aku tahu kau akan datang. Kau telah mengambil keputusan yang tepat.” Benazir berkata dengan wajah sedih, “Apa salahku sehingga kau melakukan ini padaku? Aku hanyalah seorang pelayan.” Maksood tak begitu memperdulikannya, “Karena kau sudah disini, ayo kita masuk.”
Zakira berada diluar sementara Benazir dan Maksood berada didalam. Maksood hendak mencumbu Benazir namun Benazir bertindak seolah-olah menolaknya. Maksood menuangkan minuman untuk Benazir supaya dia bisa relaks. Namun tetap saja Benazir tampak ketakuta. Maksood jengah, “Baiklah. Kau bisa tetap disini sampai Yang Mulia datang menangkapmu.”
Benazir beranjak dan menagambilkan minuman untuk Maksood. Ia kemudian memeluknya dari samping dan Maksood berbalik. Benazir melancarkan rayuannya, “Aku disini sekarang dan aku milikmu.” Maksood marah dan melemparkan gelasnya. Benazir memeluknya dari belakang, “Kau memanggilku kemari, tapi kenapa kau jadi marah?” Maksood berbalik dan membelai wajahnya, “Kau tahu betapa cantiknya dirimu. Semua orang ingin memilikimu, meskipun nyawa taruhannya. Wajah dan bibirmu, selalu menghantuiku dalam mimpiku. Aku tak bisa tidur karenamu. Sekarang kau bersamaku, aku tak tahu apa yang akan aku lakukan. Kemarilah Benazir.” Dan mereka pun berciuman.
Tiba-tiba Maksood berteriak dan kejang-kejang. Ia keluar dari ruangan tersebut dan mengeluarkan banyak cairan hijau dari mulutnya namun hanya sedikit cairan hijau yang keluar dari mulut Benazir. Benazir menjilati bibirnya, “Aku berharap, kau menikmati, saat-saat kita bersama.” Benazir mengelap cairan hijau yang kelaur dari mulutnya dan mendekati Maksood, “Tak ada gunanya bicara denganmu.” Zakira menghampirinya. Benazir melanjutkan ucapannya dengan terengah-engah, “Kau tersedak. Pela-pelan, kau akan berhenti bernafas.” Benazir mengguncang tubuh Maksood, “Kau ingin aku jadi milikmu, kan? Tapi sebentar lagi jantungmu akan berhenti berdetak. Kau benar, siapapun yang ingin bersamaku harus mempertaruhkan nyawanya. Racun itu akan membunuhmu lewat nadimu. Siapapun yang berusha mendekatiku akan bernasib sama denganmu.”
Zakira berusaha mengajak Benazir pergi namun Benazir justru menghempaskan tangan Zakira sehingga tubuh Zakira yang kecil terjatuh. Benazir masih berteriak dihadapan Maksood sambil berdiri, “Dia ingin tidur denganku! Bangun! Mari kita habiskan malam bersamaku. Aku sudah siap!”
Zakira menarik tangan Benazir. Sedangkan Maksood berusaha bergerak dengan merayap menuju ke istana dan mulutnya terus mengeluarkan racun.
Benazir kembali ke istana dengan tertatih-tatih. Zakira berusaha untuk mengajaknya cepat sebelum ada orang yang melihat. “Kau selalu seperti ini jika kau mengeluarkan racunmu.” Dan saat itu Moti dan Jodha melihat Benazir muntah-muntah namun ia sama sekali tak mencurigainya. “Aku rasa dia keracunan. Lagi pula untuk apa dia kelaur malam-malam begini?” Kemudian Jodha mengajak Moti ikut dengannya.
Jodha membuatkan obat untuk Benazir, “Aku tidak percaya aku membuatkan obat untuknya. Namun aku tidak bisa mengabaikan moralku. Aku selalu berusaha mengobati orang yang terluka.” Jodha beranjak dan Moti mengikutinya. Moti mengatakan bahwa ia akan mengantarkan obat itu ke kamar Benazir. Namun Jodha melarangnya kelaur malam sendirian. Moti tetap membantah dan mengatakan bahwa Adham sekarang ada dipenjara jadi tidak ada yang akan mengganggunya. Jodha masih tetap bersikeras, “Aku adalah seorang Ratu jadi tidak akana da yang berani menyakitiku.” Dan akhirnya mereka pergi berdua.
Jodha dan Moti sampai di kamar Benazir membawakan obat untuknya. Benazir mengira bahwa yang datang adalah Zakira yang mengambilkan obat untuknya dari sebuah peti (ular), “Kenapa kau lama sekali. Mana obat yang kau bawakan untukku?”
Benazir terkejut saat mendengar suara Jodha yang membawakan obat untuknya. Dengan nafas terengah-engah Benazir berusaha duduk, “Yang Mulia, mengapa malam-malam kau datang kemari?” Jodha mengatakan bahwa ia membawakan obat untuk Benazir. Namun Benazir menolaknya dan mengatakan bahwa ia memiliki obat sendiri jadi dia tak membutuhkan obat dari Jodha.
Zakira yang kembali sambil membawa ular terkejut melihat kedatangan Jodha dan tanpa sengaja ularnya terlepas dari genggamannya. Jodha pun tak mau mendebatnya dan beranjak keluar bersama Moti. Jodha menatap Zakira dan Zakira tampak ketakutan.
Benazir menanyakan ularnya pada Zakira. Zakira ketakutan, “Saat aku melihat Ratu Jodha disini, aku ketakutan dan melepaskan ularnya. Sekarang ularnya ada diluar.” Benazir bergegas keluar.
Sambil berjalan ke kamar Jodha, Moti ngedumel, “Semua orang di Harem memuji Benazir. Tapi lihat dia Dia tak bermoral sama sekali. Seorang Ratu telah memberinya obat, seharusnya dia tak boleh menolaknya.” Jodha tak mau memperpanjang masalah ini, “Lupakan saja Moti. Aku hanya menjalankan tugasku.”
Seekor ular merayap ke arah Jodha. Jodha tiba-tiba terhenyak dan kemudian ia terjengkal saat melihat ular siap menyerangnya. Moti berusaha mengajak Jodha segera pergi namun Jodha justru sibuk mengusirnya. Ular itu siap mematuk Jodha, namun sebelum itu terjadi, Benazir menyambar ular tersebut dan membuangnya ke pohon kecil yang ada didekatnya. Jodha terkejut, ia bergegas berdiri, “Mengapa kau menolongku?” Benazir menimpali dengan tersenyum, “Kau peduli terhadap pelayan seperti diriku. Sudah seharusnya aku juga peduli terhadapmu.” Jodha berterima kasih kemudian ia melangkah pergi bersama Moti.
Raut wajah Benazir berubah hendak menangkap ular tersebut. Ia terkejut saat melihat Jodha kembali menoleh kearahnya, seketika itu Benazir kembali tersenyum manis kearah Jodha.
Setelah Jodha benar-benar pergi, Benazir mengambil ularnya kembali dan membiarkan ular tersebut mematuk lidahnya. Dalam sekejap, Benazir kembali sehat.
Mirza Hakim sedang berlatih pedang dengan beberapa prajurit sebagai lawannya. Ditengah-tengah latihannya ia melihat ada kerumunan. Ia mendatanginya dan sudah ada Maksood yang tak sadarkan diri. Jalal juga hadir disana dan menanyakan sebab kematiannya. Tabib yang memeriksanya mengatakan bahwa Maksood meninggal karena terkena racun ular. Mirza Hakim merasa ada yang janggal. Ia membalikkan tubuh Maksood yang tengkurap, “Jika ia memang terkena racun ular, seharusnya ada bekas gigitannya.”
Tabib berteriak, “Itu dia! Ada bekas gigitannya di bibirnya.” Mirza Hakim masih merasa ada yang ganjal. Gigitan di bibirnya terlihat aneh.
Benazir dan Zakira melihat kerumunan itu dari kejauhan. Zakira mengatakan bahwa kerajaan pasti akan meningkatkan penjagaannya. Benazir tersenyum dan menimpali, “Tapi mereka tidak akan tahu akulah penyebabnya. Mereka tidak akan tahu bahwa didalam darahku mengandung racun.” Dan mereka berdua pergi dari sana.
Jalal meyayangkan kematian Maksood, “Dia adalah petugas yang setia. Dia meninggal saat melaksanakan tugas. Kuburkan dia dengan hormat dan beri santunan kepada keluarganya.”
Jalal bertanya kepada Atghah Shah mengapa kejadian ini bisa terjadi. Atghah Shah berkata bahwa ia sudah memeriksa seluruh sudut istana dan seharusnya ular tidak bisa masuk. Jalal memerintahkannya untuk meningkatkan keamanan.
Saat hanya tinggal berdua, Mirza Hakim memberitahu Jalal bahwa Abu Mali sedang merencakan penyerangan dari dalam kepada Jalal, sehingga nyawa Jalal dalam bahaya. Jalal menanggapi dengan santai, “Mengapa aku harus khawatir dengan orang yang melarikan diri. Lagi pula kau sudah ada disini, jadia kau tidak perlu khawatir.” Mirza Hakim mencoba mengingatkan lagi, “Meskipun begitu, kita tetap harus waspada. Karena usuh bisa saja menyerang dari belakang. Kita juga harus berhati-hati jangan sampai hal ini terjadi kepada yang lain.”
Jodha bersama pelayan-pelayannya pergi ke taman untuk memberi makan merpati seperti biasanya, namun tidak ada seekor pun merpati disana. Mirza Hakim menghampirinya dan menanyakan apa yang Jodha cari. Jodha mengatakan bahwa ia hendak memberi makan merpati, namun tidak satu pun merpati disana. Dengan gerakan-gerakan aneh Mirza Hakim memunculkan merpati dari mahkotanya. Jodha memuji bakatnya, “Kau pesulap ya.” Mirza Hakim menyangkalnya, “Sebenarnya aku sudah perintahkan untuk memindahkan merpati-merpati itu dari sini.”
Jodha menanyakan alasannya. Mirza Hakim menjawab bahwa semalam seekor ular menggigit salah seorang petugas. “Kami pindahkan merpati itu untuk menemukan ularnya. Ular itu bisa menjadi ancaman bagi burung-burung itu.” Jodha menimpali, “Tadi malam seekor ular juga menyerangku. Benar-benar nyaris.” Mirza Hakim menanyakan dimana Jodha diserang. Jodha menjawab bahwa ia tadi malam membawakan obat untuk Benazir, saat ia kembali, seekor ular hampir menggigitnya. Mirza Hakim langsung berfikir bahwa ulat tersebut ular yang sama yang membunuh Maksood. Jodha sedih, “Aku turut berbela sungkawa untuk keluarganya.” Mirza mengatakan bahwa keluarganya sudah diberi santunan.
Jodha mengalihkan pembicaraannya, “Aku senang kau begitu peduli dengan merpati-merpati itu. Lihat kakakmu, dia malah hobinya berburu.”
Mirza: “Itu tidak benar kakak. Yang Mulia hanya berburu binatang ganas.”
Jodha: “Kau membela kakakmu?”
Mirza: “Tentu saja. Aku sangat mencintainya. Kalau boleh dibilang, aku menyembahnya.”
Jodha tersenyum, “Kau harusnya menyembah Tuhan, bukan manusia.”
Mirza tersnyum kemudian berkata dengan gaya lucunya, “Kalau begitu, mengapa wanita dilingkunganmu menganggap suami mereka seperti halnya Tuhan? Bagaimana menurutmu? ‘Suamiku adalah Tuhanku.’” Moti yang ada disana ikut tersenyum mendengar ucapan Mirza.
Jodha: “Sudah cukup banyak alasanmu untuk membela kakakmu. Kau tak akan berhenti untuk membela kakakmu.”
Mirza: “Aku juga bisa membelamu.”
Jodha: “Mengapa begitu.”
Mirza: “Tadi malam, Ibu Suri bercerita banyak tentang dirimu. Dia juga bercerita bahwa kau sangat ahli memasak. Mungkin kau tidak tahu, tapi aku sangat suka masakan Dal Bati Churma.”
Jodha: “Kau bisa berubah membelaku hanya karena makanan? Apa yang akan kau katakan pada kakakmu jika dia mendebatmu?”
Mirza:, “Aku akan katakan padanya, bahwa tak ada bedanya aku membela dia atau dirimu. Ini satu kesatuan dan tak ada bedanya.” Jodha terdiam mendengar ucapannya, senyumnya menghilang memikirkan bahwa ucapan Mirza memang ada benarnya, namun ia tidak mengakuinya.
Sinopsis Episode yang lain >klik disini<