By: Tyas Herawati Wardani
Jodha – “Aku tidak mau ada pesta yang terlalu meriah... Pestanya cukup sederhana, toh ini hanya formalitas saja, kan?! Pernikahan ini hanya sebuah kedok.”
Jalal – “Aku tidak peduli pestanya seperti apa. Yang pasti aku akan mengumumkan pernikahan kita di media agar para kolegaku percaya aku sudah menikah..”
Perdebatan demi perdebatan telah mereka lalui hingga memakan waktu hampir sesore ini, merasa tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, Jodha pun pulang. Belum pernah dia merasa selelah ini, tenaganya terkuras habis baik fisik maupun emosi. Namun jika ini satu-satunya cara dia bisa menyelamatkan bisnis keluarganya, dia akan melakukannya tanpa mengeluh. Jalal sudah berjanji tidak akan menyentuhnya, jadi dia tidak perlu merasa was-was.
Sesampainya di rumah, seperti yang sudah diduganya, seluruh keluarganya mencecar dengan berbagai pertanyaan yang intinya adalah isi pembicaraan dengan Jalal tadi siang.
Ibu Meena – “Jodha.. bagaimana Nak?? Apa kau baik-baik saja? Dia tidak berbuat aneh-aneh padamu kan?”
Jodha – “Tidak Bu, aku hanya lelah karena perjalanan. Tuan Jalal cukup menghormatiku, dia tidak melakukan apa-apa padaku.”
Jodha mencoba meyakinkan Ibunya yang terlihat sangat khawatir. Dia juga harus mencoba meyakinkan seluruh keluarganya, dia tidak ingin mereka tahu alasan sebenarnya Jalal menikahinya. Dia harus terlihat tenang meski perasaannya campur aduk. Untuk pertama kali dalam dua puluh tiga tahun hidupnya, dia harus berbohong pada orang tuanya. Jodha tahu dia akan menanggung dosa besar, tapi ini juga pertama kalinya dia berkorban demi keluarga yang dicintainya.
Tuan Bharmal – “Jodha.. apa kau bertanya padanya alasan dia menikahimu..?”
Akhirnya pertanyaan ini muncul, Jodha menelan ludah sebelum dia dengan susah payah menjawab..
Jodha – “Iya, Ayah.. Dia hanya bilang kalau aku adalah tipe wanita yang ingin dinikahinya..”
Tuan Bharmal – “Apa kau juga bilang kalau kau tidak mengenalnya apalagi mencintainya?”
Jodha – “Iya, dia menghargai perasaanku. Dia akan menjaga kehormatanku sebagai istrinya nanti. Aku akan mencoba mengenalnya seiring waktu dan mungkin lambat laun aku akan menyukainya juga.”
Jawaban terakhir yang dilontarkannya atas pertanyaan ayahnya, terasa seperti memuntahkan batu besar dari dadanya. Karena yang sejujurnya adalah dia tidak ingin menyukai pria manapun, apalagi calon suaminya itu. Dengan kecantikan wajahnya, memang tidak bisa dihindari jika banyak pria yang menyukainya, tapi berulang kali pula dia menolak perasaan mereka. Hanya karena dia tidak ingin pria-pria itu kecewa jika mereka tahu apa yang telah terjadi pada dirinya. Dia berusaha memagari perasaannya rapat-rapat agar tidak ada yang bisa menyentuhnya, karena bukan hanya mereka yang kecewa, dirinya sendiri akan jauh lebih terluka.
Sekarang dia malah akan menikah. Bagaimana jika Jalal nanti jatuh cinta padanya? Bagaimana dia akan menghadapinya? Baginya lebih mudah, jika dia menolak perasaan seseorang kemudian dia akan bersembunyi agar tidak bertemu dengan orang itu. Tapi tidak akan bisa dengan pria yang akan menjadi suaminya ini, mereka akan sering bertemu karena tinggal dalam satu rumah, dia tidak akan bisa sembunyi atau melarikan diri lagi.
Tuan Bharmal – “Jodha, pertimbangkan dulu keputusanmu. Kau masih punya waktu untuk membatalkannya.”
Jodha – “Tidak perlu Ayah. Aku yakin dengan keputusanku. Ayah dan Ibu tidak perlu khawatir.”
Beruntung Jodha memiliki keluarga yang selalu mendukungnya. Di saat keluarga lain ingin segera menikahkan putri mereka dengan pria manapun yang lebih dulu melamar, keluarganya malah tidak pernah menuntutnya untuk segera menikah. Orang tuanya membebaskannya menentukan sendiri masa depannya. Karena itulah, meski keputusannya ini bertentangan dengan prinsip dan hati nuraninya, demi kebahagiaan keluarganya, biarlah dia sendiri yang akan menanggung resikonya.
Jodha – “Ibu, aku dan Tuan Jalal sepakat tidak akan menggelar pesta besar-besaran, cukup sederhana saja. Kita undang keluarga kita saja, dan lagipula Tuan Jalal tidak punya orang tua, jadi aku khawatir akan terasa agak canggung..”
Ibu Meena – “Kau benar-benar yakin?? Bagi kami tidak masalah pesta meriah atau sederhana, yang penting kau bahagia dengan keputusanmu..”
Jodha hanya menjawab dengan senyuman, meski agak dipaksakan, dia bisa bernapas lega karena alasan yang diberikannya bisa meyakinkan keluarganya.
Karena pernikahannya akan digelar seminggu lagi, maka hiruk-pikuk persiapannya langsung dimulai. Rumahnya mulai dihias. Meski dihelat lebih sederhana daripada pesta pernikahan pada umumnya, namun keluarga Jodha tetap melengkapi semua ritual upacaranya. Mulai dari upacara shagun, Mangni, Mehndi, sampai ritual utamanya mengelilingi api suci sebanyak tiga kali. Selama pesta, yang terlihat sangat tidak biasa adalah ketidakhadiran keluarga mempelai pria. Jalal hanya didampingi oleh dua orang pengacaranya. Untunglah seluruh kerabat Jodha memakluminya.
Setelah seluruh tamu meninggalkan pesta, Jalal kembali ke hotel tanpa Jodha, karena Jodha ingin menghabiskan malam terakhirnya di rumah dengan tidur bersama Ibunya. Jodha pasti akan merindukan saat-saat bermanja di pelukan Ibunya seperti ini. Setelah malam ini, dia akan berperan sebagai istri Tuan Jalaluddin Akbar. Dia akan tinggal di Delhi dan mungkin dia tidak bisa sering-sering menemui keluarganya di Uttar Pardesh.
Keesokan paginya, Jalal menjemput Jodha untuk segera berangkat ke Delhi. Seperti yang terjadi di keluarga India pada umumnya, saat-saat ketika keluarga sang gadis melepaskan putrinya untuk pergi bersama suaminya, tak terelakkan adalah saat-saat paling mengharukan. Tentu Ibunya yang paling sedih, dia harus melepaskan putri yang sudah dibesarkannya dengan penuh cinta. Jodha tak kuasa melihat air mata di wajah Ibunya. Setelah mencium kaki orang tuanya, cepat-cepat dia masuk ke mobil dan melambaikan tangannya pada seluruh keluarganya.
Perjalanan Uttar Pardesh-Delhi dilalui dengan keheningan. Jodha dan Jalal sama-sama tidak ingin memulai pembicaraan meski hanya basa-basi saja. Masing-masing mereka sibuk dengan pikirannya. Duduk merekapun terpisah di masing-masing ujung jok penumpang di bagian belakang mobil 4WD milik Jalal. Sesekali terdengar dering ponsel Jalal menandakan kalau dia orang yang sangat sibuk. Tapi Jodha tidak pernah sekalipun menoleh.
Sesampainya mereka di apartemen Jalal, mereka hanya disambut oleh seorang wanita, sepertinya dia adalah asisten rumah tangga Jalal. Pria yang sebelumnya bertindak sebagai sopir selama perjalanan, membawa masuk koper-koper bawaan Jalal dan Jodha. Jalal memerintahkan pada pria itu meletakkan koper Jodha di sebuah kamar yang terletak di ujung koridor. Jodha mengikutinya karena itu berarti adalah kamar yang akan ditempatinya. Sedangkan Jalal masuk ke sebuah kamar yang sepertinya adalah kamar tidurnya.
Jodha memasuki sebuah kamar yang berukuran 2,5x3m, lebih kecil dari kamarnya di rumah orang tuanya. Dia mendesah –‘Jalal mungkin berpikir dia akan berhasil menyiksa perasaanku dengan menempatkanku di kamar ini, tapi aku tidak akan membuatnya senang. Aku tidak akan membuang waktuku dengan mengeluh.’— Dindingnya bercat putih. Di dalam kamar itu sudah tersedia sebuah single bed, lemari wardrobe yang tertanam di dinding dengan sepasang pintu geser, satu set meja dan kursi. Jodha mulai mengatur letak pakaiannya di lemari. Sebagian besar pakaiannya adalah t-shirt, kemeja dan celana katun, cardigan, dan celana denim. Beberapa sackdress, nightgown dan saree yang hanya akan dipakainya untuk acara formal tertentu saja.
Tidak banyak yang memperhatikan, Jodha hampir tidak pernah memakai Shalwar Kurta atau Shalwar Kameez seperti gadis India umumnya. Bukan karena dia tidak mencintai budayanya sendiri, tapi karena ada alasan tertentu, yang hanya Jodha dan keluarganya yang tahu alasan dia merasa tidak nyaman mengenakan kedua pakaian tradisional itu.
Berjam-jam dihabiskannya untuk mengatur kamarnya, kamar yang akan ditempatinya sebagai istri Tuan Jalal, entah sampai kapan itu berlangsung. Perutnya yang lapar mengingatkannya akan waktu makan siang yang sudah terlewat. Jodha pun menuju dapur. Disana sudah ada wanita yang tadi menyambutnya saat dia baru datang.
Bibi Meeta – “Selamat datang, Nyonya. Namaku Meeta,panggil saja aku Bibi Meeta.”
Jodha – “Terima kasih. Panggil saja aku Jodha, Bi. Tidak perlu memanggil Nyonya.”
Bibi Meeta – “Rasanya itu kurang sopan.”
Jodha – “Tidak Bi, kan terdengar lebih akrab seperti itu. Anggap saja aku putrimu sendiri, jadi jangan terlalu sungkan padaku....Bibi Meeta, aku lapar, Apa kau punya sisa makan siang?”
Bibi Meeta – “Maaf Nyonya...maksud saya Jodha. Hanya ada roti lapis isi jika anda mau.”
Jodha – “Tidak ada yang lain?”
Jodha membuka lemari pendingin besar di dapur itu, ternyata isi di dalamnya membuatnya mengernyitkan wajah.
Jodha – “Kenapa isinya hanya minuman dan makanan ringan?”
Bibi Meeta – “Karena Tuan Jalal jarang sekali makan di rumah. Dari pagi sampai malam, Tuan makan di luar, kecuali jika dia menjamu tamu disini.”
Jodha – “Jadi tugas Bibi disini apa kalau tidak memasak?”
Bibi Meeta – “Tugas saya memastikan seluruh ruangan disini bersih. Setelah lewat siang hari, praktis saya tidak melakukan apa-apa. Tapi untuk akhir pekan, biasanya saya berjaga sampai malam, karena Tuan sering mengajak temannya minum-minum disini.”
Jodha – “Temannya pria atau wanita?”
Bibi Meeta – “Temannya pria......dan wanita.”
Jodha – “Tidak apa, Bi, tidak perlu ditutupi. Aku sudah tahu..... Kalau begitu aku akan berbelanja dulu, karena aku ingin memasak untuk kita berdua. Apa Tuan Jalal ada di kamarnya?”
Bibi Meeta – “Tidak, Tuan Jalal sudah pergi.”
Jodha merasa lega karena Jalal sudah pergi, paling tidak dia tidak perlu memberitahunya hanya untuk sekedar berbelanja. Jodha menuju ke sebuah hyper mart. Berbagai macam sayuran, daging, bumbu dapur, bahkan bahan untuk kuepun dibelinya. Dia berniat selama di Delhi dia akan memasak, meski yang menikmatinya hanya dia dan Bibi Meeta. Toh dia membeli semuanya dengan uangnya sendiri.
Terhitung lima kantong besar dibawanya pulang. Beruntung sopir taksi yang ditumpanginya bersedia membantunya mengangkat semua kantong itu hingga di depan pintu apartemen Jalal di lantai lima. Untuk makan malamnya, jodha berencana memasak ayam tandoori. Selain itu, dia juga membuat pie apel dan brownies kenari kesukaannya. Sambil memasak, Jodha mengajak Bibi Meeta mengobrol...
Jodha – “Bibi, kue ini tidak mungkin habis malam ini, sisanya disimpan saja di lemari pendingin, bisa dihangatkan lagi jika akan dihidangkan.”
Bibi Meeta – “Anda pintar sekali memasak.”
Jodha – “Terima kasih. Oh ya, kalau Tuan Jalal tidak sengaja melihat ini semua, dan seandainya dia bertanya, tolong jangan katakan kalau aku yang memasak. Dia tidak akan suka. Katakan saja Bibi yang memasak ya?”
Bibi Meeta – “Tapi kenapa..?”
Jodha – “Tidak apa-apa, Bi. Hanya katakan seperti itu saja.”
Sebenarnya Jodha menyimpan banyak pertanyaan tentang Jalal, tapi dia ragu untuk mengoreknya dari Bibi Meeta.
Jodha – “Bibi, apa kau sudah lama bekerja pada Tuan Jalal?”
Bibi Meeta – “Sejak ayahnya meninggal, saya mulai bekerja pada Tuan Jalal, awalnya saya bekerja mengasuh Nona Bhaksi.”
Jodha – “Bhaksi itu adiknya Tuan Jalal, kan? Kenapa dia tidak hadir saat pernikahan kami?”
Bibi Meeta – “Dia sedang kuliah di Inggris. Sejak pertunangannya dibatalkan, Nona Bhaksi jarang pulang ke India. Tapi setiap kali dia pulang, dia tidur di kamar itu.”
Bibi Meeta menunjuk ke sebuah kamar yang ukurannya sama besar dengan kamar Jalal. Jodha ingin sekali bertemu dengan Bhaksi untuk meminta maaf padanya. Jika memang pertunangannya batal karena kesalahan yang melibatkan dirinya, dia akan menghadapi kebencian Bhaksi secara langsung.
Selesai makan malam, Jodha masuk ke kamarnya. Dia mereka-reka rencana kegiatan apa yang bisa dilakukannya besok, dia tidak tahan jika harus berdiam diri di apartemen sepanjang hari. Tak terasa, Jodha sampai tertidur...
Keesokan paginya, Jodha mengawali pagi harinya dengan jogging. Olahraga pagi akan membantunya siap melakukan aktifitas apapun sepanjang hari. Saat dia kembali, ternyata Jalal sudah berpakaian rapi siap bekerja. Saat berpapasan di pintu, tanpa menoleh Jalal berkata—“Bersiaplah, nanti setelah makan siang datanglah ke kantorku. Kita akan menemui klienku. Tugas pertamamu sebagai istriku. Ingat, kau hanya perlu bersikap seolah kita adalah pasangan serasi.”
Sebelum waktu makan siang, Jodha sudah bersiap-siap. Dia mengenakan sackdress katun selutut tanpa lengan dengan lipitan di bawah dada berwarna biru kelasi dengan motif bunga-bunga kecil di bagian bawah. Tidak lupa dia mengandalkan high heels untuk menyempurnakan penampilannya. Karena ini siang hari, Jodha hanya mengikat rambutnya ke sisi kiri dengan scarf putih. Dengan taksi, dia menuju ke kantor Jalal. Disana Jalal sudah menunggu di mobilnya.
Jodha hanya bisa menerka-nerka kemana Jalal akan membawanya. Mereka berkendara ke arah selatan meninggalkan kemacetan New Delhi. Daerah yang mereka lalui selama perjalanan adalah semacam wilayah sub-urban. Di kiri kanan jalan tampak rumah-rumah berjajar rapi. Tampaknya sebagian besar penghuni wilayah ini adalah keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke atas. Setelah berkendara kurang lebih satu jam, sampailah mereka di daerah yang lebih eksklusif dengan deretan villa dan latar belakang daerah perbukitan.
Jalal membelokkan mobilnya ke sebuah jalan masuk salah satu villa. Tampaklah sebuah bangunan indah bergaya pedesaan Eropa dengan tembok dari batu bata merah. Pepohonan di sekitar rumah menambah asri suasananya. Jalal memarkir mobilnya dan melangkah menuju pintu masuk utama rumah. Jodha mengikuti di belakangnya.
Seorang pria membuka pintu setelah Jalal mengetuknya, dia lalu memandu Jalal dan Jodha ke sebuah ruangan yang menghadap sebuah taman dan dibatasi sebuah pintu model Perancis yang tingginya mencapai langit-langit rumah. Setelah mempersilakan mereka berdua duduk, pria itu kemudian beranjak pergi untuk memberitahu tuan rumah tentang kedatangan tamunya.
Seorang pria setengah baya dan sepertinya berkebangsaan Belanda masuk dari pintu Perancis itu dan menghampiri Jalal...
Tuan Rudolf – “Selamat siang Tuan Jalal. Apa kabar?”
Jalal – “Selamat siang, Tuan Rudolf. Dan kenalkan ini istri saya, Jodha. Jodha ini Tuan Rudolf Bernardt.”
Tuan Rudolf – “Selamat siang, Nyonya. Selamat datang di rumah kami. Panggil saja saya Rudolf.”
Jodha – “Terima kasih. Rumah anda sangat indah, Tuan Rudolf.”
Jalal – “Tuan Rudolf, terima kasih atas waktunya. Kedatangan saya kesini untuk mengajukan kembali proposal yang sebelumnya anda tolak. Saya sudah merevisinya dan saya harap anda mempertimbangkannya lagi.”
Tuan Rudolf – “Baiklah, mari kita bicarakan di ruangan saya.”
Jalal – “Jodha, kau tunggu sebentar disini.”
Meski Jalal mengatakannya dengan nada datar, namun sinar matanya menyiratkan hal yang berbeda, seakan yang sebenarnya ingin dia katakan adalah –‘Tunggulah disini dan jangan macam-macam—“
Jalal mengikuti Tuan Rudolf masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu di belakang mereka.
Tuan Rudolf – “Sebelumnya aku ucapkan selamat atas pernikahanmu.”
Jalal – “Terima kasih. Silakan anda periksa proposal yang telah saya susun. Semoga sesuai dengan yang anda inginkan.”
Tuan Rudolf mulai memeriksa satu per satu isi proposal yang diajukan Jalal. Jalal menunggu dengan harapan tinggi bahwa kali ini Tuan Rudolf akan menyetujuinya. Dia datang sebagai pria yang sudah menikah seperti tuntutan Tuan Rudolf sebelumnya yang mencari partner yang sudah berkeluarga , jadi dia merasa kali ini pasti akan berhasil. Saat itu suasananya cukup sunyi, yang terdengar hanya suara kertas yang dibolak-balik. Tiba-tiba....
“Aaaaaaaaahhhhhhh......”
Terdengar jeritan dari luar....
**********************
Short Story Just Love part yang lain Klik Disini
"Aaaaahhhhhh.....", suara siapa tuch????, jangan2 jodha bikin kesalahan yang fatal nech, mpe Jalal tambah benci ma dia.
ReplyDeletePenasaran ma masa lalu Jodha.... ada apakah gerangan?????.
Di tunggu part selanjutnya mba Chusnianti.
Lanjuuuut... siapa yg berteriak??? Apakah jodha penasaran.. jgn lama" yaaa lanjutannya tq
ReplyDelete