By: Tyas Herawati Wardani
Sekarang Jalal benar-benar bingung. Masihkah dia percaya pada kata-kata Bhaksi? Atau cerita Rarisa yang bisa dipercaya? Tapi bisa saja keduanya benar. Atau sebaliknya, keduanya berbohong. Tapi tidak mungkin.—‘Tidak mungkin Bhaksi berbohong, aku tahu dia sangat mencintai Shahabuddin, tanpa alasan yang kuat dia tidak akan membatalkan pertunangannya. Tapi jika cerita Rarisa benar, berarti Jodha belum pernah berhubungan dengan pria manapun, lalu hubungannya dengan Shahabuddin itu hubungan seperti apa?’—
Saat ngobrol dengan Tuan Rasheed dan istrinya, Rarisa, semua cerita terdengar mengalir begitu saja. Sikapnya tidak ada yang dibuat-buat, ditutup-tutupi ataupun dilebih-lebihkan.—‘Sekarang masalahnya bagaimana harusnya aku bersikap di depan Jodha. Aku masih berhutang ucapan terima kasih dan dua permintaan maaf. Aku tidak bisa mengabaikan pertolongannya begitu saja. Tapi aku juga tidak bisa tiba-tiba bersikap ramah padanya, bisa-bisa dia menyalahartikan perhatianku. Aarrgghhh...’—Pikiran Jalal terus berputar-putar, tapi dia tidak menyadari pikirannya berputar di satu titik, Jodha.
Sudah pukul 11 malam saat Jalal membaca penunjuk waktu di dashboard mobilnya. Memarkir mobilnya di basement, Jalal mulai berjalan ke arah lift, saat itulah ujung matanya menangkap sesuatu yang menarik, motor milik Jodha. Langkahnya berbalik dan dia menghampiri motor itu. Memandanginya dan tersenyum. –‘Ini motor Jodha, berarti dia sudah pulang.... Tapi kenapa aku memandangi motor ini?... Apa istimewanya?...Apa aku sudah gila?..’—Jalal meraba wajahnya yang tersenyum.
Keesokan paginya, Jalal terbangun lagi karena mendengar suara obrolan dari arah dapur. Selesai mandi, bercukur dan berganti pakaian, Jalal bergerak menuju meja makan. Jodha ada disana sedang membersihkan piring.
Jalal –‘Bibi Meeta, tolong buatkan secangkir kopi untukku.”
Bibi Meeta –“Baik. Tuan juga ingin sarapan?”
Jalal –“Kau masak apa?”
Bibi Meeta –“Daging dada ayam panggang dimasak dengan tomat dan olive oil.”
Jalal –“Aku mau Bibi Meeta....Emmh, Jodha, apa kau juga keluar pagi ini..?”
Jodha mendongak dari kesibukannya mencuci piring.
Jodha –“Iya, kenapa?”
Jalal –“Tidak apa-apa.”
Jalal menahan dirinya dari pertanyaan-pertanyaan lain karena dia ingat perjanjian yang dibuatnya sendiri untuk tidak pernah mencampuri urusan Jodha. Alhasil dia hanya memperhatikan Jodha yang masuk ke kamarnya.
Selesai sarapan Jalal bergegas ke kantor. Saat mobil yang dikendarainya berhenti di sebuah persimpangan, tidak sengaja dia melihat Jodha juga berhenti di persimpangan yang sama menunggu lampu berubah hijau. Timbul niatnya untuk membuntuti Jodha. Tadi pagi dia tidak bisa bertanya pada Jodha tentang rencana kegiatannya pagi ini, tapi dengan membuntutinya maka dia akan tahu apa yang dilakukan Jodha setiap harinya.
Agar tidak mencolok, Jalal mengatur jarak mobilnya dan motor Jodha agak sedikit jauh tapi cukup terlihat. Setelah melewati beberapa tikungan dan persimpangan, akhirnya motor Jodha berhenti di depan sebuah cafe. Jodha memarkir motornya di pintu masuk samping cafe. Di belakangnya ada sebuah mobil yang juga baru datang dan memarkirnya di samping motor Jodha. Seorang wanita yang cukup cantik turun dari dalam mobil.
Jalal yang memarkir mobilnya agak jauh, masih bisa melihat dengan jelas. Dia melihat Jodha tersenyum pada wanita yang baru datang itu. Senyuman yang biasa diberikan untuk sahabat. Kemudian keduanya masuk ke dalam cafe dari pintu samping.
Selama satu setengah jam, Jalal berdiam diri di dalam mobilnya mengamati cafe itu. Dia menunggu Jodha keluar dari sana. Dia semakin penasaran. Jalal sudah merasa jenuh menunggu –‘Wanita manapun bisa menghabiskan setiap hari dalam hidupnya hanya untuk bergosip. Harusnya aku sudah bisa menduga, Jodha pasti hanya mengisi waktunya dengan hal-hal seperti ini’—Akhirnya Jalal memutuskan untuk pergi. Dia menyesal sudah menghabiskan waktunya hanya untuk mengikuti Jodha.
Di kantor, Jalal mulai berkonsentrasi menyelesaikan pekerjaannya hingga waktu makan siang tiba. Seorang temannya datang siang itu sambil membawa sekotak kue cupcakes aneka topping untuk dipamerkan pada Jalal.
Vishant –“Jalal, istirahatlah dulu. Aku bawakan makan siang.”
Jalal –“Aku tidak tertarik. Aku sangat sibuk. Kau makan saja sendiri.”
Vishant –“Cobalah dulu, rasanya enak sekali. Semua teman kita sudah mencobanya, tinggal kau yang belum.”
Jalal –“Tinggalkan saja disana. Akan kumakan nanti.”
Vishant –“Ayolah, cobalah sekarang. Kau tidak akan menyesal..”
Agar temannya berhenti memaksa, Jalal pun bersedia mencicipi kue yang disodorkannya.
Vishant –“Enak, kan?! Akan terasa lebih enak kalau kau bisa bertemu dengan pembuatnya..”
Jalal –“Maksudmu?”
Vishant –“Kabarnya, pembuat kue ini sangat cantik. Aku sih belum pernah bertemu dengannya. Aku mengetahuinya dari teman. Karena itulah, aku membeli kue ini, berharap sang pembuat kue mau menemuiku atau mungkin mau berkencan denganku. Tapi kuenya ternyata enak, jadi aku tidak rugi membelinya.”
Jalal geleng-geleng kepala mendengar ide konyol temannya ini. Pikiran teman-teman prianya memang tidak jauh dari urusan mengejar wanita cantik.
Jalal –“Memangnya dimana kau membeli kue ini?”
Vishant –“Tulisannya ada di tutup kotaknya. Kalau tidak salah Sisterhood Cafe and Bakery. Tempatnya di daerah Palika Bazaar.”
Jalal memperhatikan tulisan di tutup kotaknya. Dia ingat, nama dan logonya sama dengan nama cafe yang tadi dimasuki Jodha. Alamatnyapun sama. Pikirannya langsung tertuju pada Jodha –‘Jangan-jangan Jodha.....’—
Bergegas Jalal memacu mobilnya. Dia akan menemui Jodha. Dia tahu Jodha ada di cafe itu, dia tidak tahu apa yang mendasari pikirannya hingga dia bisa seyakin itu. Saat temannya menyebut ada seorang wanita cantik di cafe itu, dia tidak bisa mengelak kalau yang ada dipikirannya hanya Jodha. Dia belum pernah mengenalkan Jodha pada teman-temannya. Jangan sampai Jodha membuatnya malu di depan teman-temannya.
Dengan gerakan kasar, Jalal memarkir mobilnya di depan Sisterhood cafe. Dia membanting pintu mobilnya dan berjalan dengan tergesa-gesa memasuki cafe. Di dalam cafe penuh sesak dengan pengunjung. Tidak ada tempat duduk kosong. Jalal mengedarkan pandangan ke sekeliling tempat itu mencari keberadaan Jodha.Dia tidak bisa menemukannya di antara pengunjung di sana. Seorang wanita datang menghampirinya, sepertinya karena melihatnya yang tampak kebingungan..
Amrita –“Selamat datang, Tuan. Anda ingin membeli apa?”
Jalal –“Aku mencari Jodha.”
Amrita –“Maaf, Jodha tidak bisa menemui anda sekarang. Dia sedang sibuk. Saya juga bisa membantu anda.”
Jalal –“Apa dia sibuk mengobrol dengan tamunya?”
Amrita –“Tidak, dia sedang...apa maksud perkataan anda.”
Jalal –“Katakan saja dimana Jodha, atau aku akan mencarinya sendiri!!”
Amrita –“Tuan, kontrol sikap anda!! Memangnya anda siapa berani memaksa Jodha menemui anda!!”
Jalal –“Aku suaminya!”
Amrita –“Oh Ya Tuhan....Anda Tuan Jalaluddin Akbar? Maafkan saya tidak megenali anda. Jodha ada di dapur. Silakan lewat sini.”
Amrita membawa Jalal masuk ke dalam dapur. Di dalam, terlihat beberapa orang sedang sibuk bekerja di atas konternya masing-masing. Dentingan suara logam alat memasak yang beradu mendominasi ruangan itu. Dia masih belum melihat Jodha.
Amrita –“Jodha, suamimu datang.”
Amrita harus sedikit berteriak memanggil Jodha, untuk mengimbangi kebisingan suara-suara di dalam dapur. Lalu muncullah Jodha.... Dia muncul dari balik konter, sepertinya dia baru selesai mengeluarkan seloyang kue dari oven di bawahnya...Dia mengenakan celemek dan tutup kepala putih seperti semua pekerja di dapur itu. Wajahnya sedikit berbalur tepung.
Jodha terkejut mengetahui Jalal ada disana, tapi dia bisa menutupinya dengan baik.
Jodha –“Tuan Jalal...Sedang apa kau disini?”
Jalal –“Kau sendiri sedang apa disini?”
Jodha –“Aku sedang bekerja.”
Jalal –“Apa maksudmu? Untuk apa kau bekerja?”
Amrita –“Tuan Jalal, tenang dulu, maksud Jodha adalah dia bukan hanya bekerja disini, dia kan juga pemilik tempat ini..”
Jodha –“Amrita!!”
Jalal –“APA?!”
Jodha dan Jalal berteriak bersamaan.
Amrita –“Uups, sepertinya aku terlalu banyak bicara. Maaf, Jodha..”
Jalal –“Sebaiknya kau menjelaskan semuanya padaku, Jodha.”
Jodha –“Aku tidak berkewajiban menjelaskan apa-apa padamu.”
Amrita –“Jodha, sebaiknya kau bicarakan dengan suamimu di tempat yang lebih nyaman. Kalau disini kau akan menghambat pekerjaan yang lain..”
Amrita mencoba menengahi apa yang terlihat seperti pertengkaran suami istri di tempat umum. Semua mata yang ada di dalam dapur memperhatikan Jalal dan Jodha, tapi keduanya tidak menyadarinya. Mendengar interupsi dari Amrita, Jodha baru sadar kalau perdebatannya dengan Jalal pasti menjadi tontonan yang lain. Dia pun mengajak Jalal keluar dari tempat itu.
Mereka keluar ke arah pintu masuk cafe yang berada di samping gedung. Tempatnya cukup sepi karena hanya karyawan yang keluar masuk dari sana. Tempat itu juga berfungsi sebagai tempat parkir khusus karyawan. Jodha duduk di lantai yang posisinya lebih tinggi daripada lantai yang lain. Jalal pun ikut duduk di sebelahnya.
Jalal –“Jangan salah pengertian, aku hanya ingin tahu tapi aku tidak akan mencampuri urusanmu....Jadi, kau pemilik tempat ini, sejak kapan?”
Jodha –“Sejak cafe ini dibuka, kira-kira 3 tahun yang lalu.”
Jalal –“Bukannya kau studi di Jerman?”
Jodha –“Benar, aku hanya menanamkan modal sedangkan temanku tadi yang menjalankannya. Karena sekarang aku tinggal di kota ini, jadi tiap hari aku akan bekerja disini...Kenapa? Kau pasti bertanya-tanya darimana aku mendapatkan uang untuk modal, iya kan?! Lalu kau menyangka aku mendapatkannya dari puluhan pria yang kurayu, benar kan?!”
Jalal –“Kalau begitu jelaskan yang sebaliknya.”
Jodha –“Sebagian uangnya dari uang saku yang diberikan ayahku yang bisa kusimpan dan sebagian lainnya dari hasil kerja part time-ku selama di Jerman.”
Jalal –“Kenapa kau masih harus bekerja? Kukira ayahmu mampu menjamin kehidupanmu..”
Jodha –“Aku tidak mau menjadi gadis manja.”
Saat mereka berdua sedang berbicara, seorang pria tiba-tiba datang menghampiri Jodha. Di depan Jodha, pria itu mengulurkan sebuket mawar untuk Jodha. Jalal dan Jodha terkejut dan sontak berdiri dari posisi duduk mereka. Jalal yang merasa tidak mengenal pria yang baru datang itu, hanya diam menunggu reaksi Jodha.
Jodha –“Tuan Virindra, apa ini?”
Tuan Virindra –“Ini bunga untuk anda, terimalah...”
Jodha –“Aku tidak bisa dan juga aku tidak mau. Tuan, maafkan aku..Tolong berhentilah menemuiku. Aku sudah menikah dan dia adalah suamiku, Tuan Jalal.”
Tuan Virindra –“Oooh!!”
Tuan Virindra salah tingkah, tidak menyangka kalau dia akan berhadapan langsung dengan suami Jodha. Mungkin gara-gara melihat tampang Jalal yang kelihatan sangar, Tuan Virindra sepertinya sedikit menciut nyalinya.
Tuan Virindra –“Oh, maaf Tuan. Aku tidak tahu kalau Jodha sudah menikah.”
Jalal –“Sekarang kau tahu! Cepat pergi dari sini dan jangan menemui istriku lagi!!”
Tuan Virindra –“I..iya...Maaf Jodha...Maaf Tuan...”
Pria itu pergi meninggalkan Jodha dan Jalal dengan agak terbirit-birit, sambil membawa bunga yang batal dia persembahkan untuk Jodha.
Jodha berpaling lagi pada Jalal..
Jodha –“Terima kasih Tuan Jalal, maaf tadi aku memanfaatkanmu. Itu satu-satunya cara agar dia tidak pernah kembali lagi.”
Jalal –“Berarti kita impas, kau pernah menolongku, hari ini aku yang menolongmu. Jadi, sekarang kita teman?”
Karena tidak menduga, cukup lama Jodha terdiam. Dalam hati dia berpikir –‘Kenapa Jalal bersikap baik seperti ini? Apa dia tulus ingin berteman denganku? Atau dia hanya bermain tarik ulur saja dengan perasaanku?—‘
Jodha –“Apa kau yakin?”
Jalal –“Bagaimanapun kita sudah menikah. Dengan berteman, kita tidak perlu melalui setiap hari dengan kebencian, kan? Apa kau tidak lelah tiap hari bertengkar denganku?”
Jodha –“Kau yakin alasannya hanya itu? Kau tidak akan macam-macam denganku, kan?”
Jalal –“Untuk soal itu, kau bisa percaya padaku. Aku tidak akan macam-macam denganmu...Jadi, kita berteman?”
Jalal mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Awalnya Jodha menahan diri, setelah 5 detik berlalu, Jodha membalas uluran tangan itu sambil tersenyum. Jalal pun tersenyum.
Jodha –“Sekarang kita teman.”
Hubungan yang cukup aneh. Jalal dan Jodha sudah menikah, tapi hubungan pertemanan mereka justru baru saja dimulai. Saat mereka sama-sama sedang meresapi ketenangan, mendadak ada seorang wanita yang berteriak di dekat mereka..”Jadi kau yang bernama Jodha!”
Jodha –“Benar, aku Jodha. Dan anda siapa?”
Devika –“Aku Devika, kekasih Tuan Virindra yang ingin kau rebut dariku.”
Jodha –“Oh, aku mengerti. Tapi tolong dengarkan aku dulu. Jangan salah paham, aku tidak...”
PLAKK!!...
Kejadiannya berlangsung sekedipan mata, tiba-tiba saja gadis itu sudah berdiri di depan Jodha, dan menamparnya. Jodha tidak sempat menghindar. Ditampar sekeras itu, Jodha hanya terdiam, sambil memegang pipinya yang mulai terasa panas dan perih.
Jalal –“Apa yang kau lakukan?!”
Jodha –“Jangan, Tuan Jalal....”
Jodha menahan lengan Jalal yang sepertinya bersiap maju ke arah gadis itu. Jodha tidak ingin Jalal berbuat kasar pada gadis itu meski dia telah menamparnya. Gadis itu pun tidak menyangka ada yang membela Jodha.
Jalal –“Jodha, apa kau hanya diam saja ditampar seperti itu?!”
Jalal pernah melihat mantan-mantan kekasihnya saling tampar di depannya karena memperebutkan dirinya, tapi kali ini, dia sedikit tidak rela ada yang menampar wanita yang berstatus istrinya tanpa alasan yang jelas.
Jodha –“Nona Devika, sungguh, aku tidak pernah sekalipun merayu kekasihmu. Dia yang datang sendiri padaku. Kalau kau tidak percaya, tanyakanlah pada suamiku.”
Jalal –“Kau perlu tahu, aku sudah mengusir pacarmu tadi!”
Devika –“Beraninya kau menghina kekasihku!”
Jodha –“Percayalah, aku tidak akan merayu kekasihmu karena aku sudah menikah. Dan dia suamiku. Kau lihat sendiri kan, suamiku lebih tampan dari kekasihmu, jadi untuk apa aku ingin merayu kekasihmu?!”
Jalal tersenyum dalam hati dipuji seperti itu. Untung dia bisa mengontrol ekspresi wajahnya, jadi wajahnya tetap terlihat datar-datar saja.
Jodha –“Apa kau sangat mencintai Tuan Virindra?”
Devika –“Tentu saja! Untuk apa aku memperjuangkannya kalau tidak mencintainya.”
Jodha –“Dan apakah kau yakin kekasihmu juga sangat mencintaimu?”
Devika –“Tentu saja aku yakin!”
Jodha –“Kalau begitu kau tidak perlu melabrakku seperti ini. Kalau kau percaya Tuan Virindra mencintaimu maka kau tidak perlu merasa terancam karena aku. Kau harus percaya diri. Percaya bahwa dirimu layak untuk dicintai.”
Devika –“Bagaimana caranya? Apa kau tahu?”
Jodha tersenyum mendengar pertanyaan itu. Perlahan dia berjalan mendekati Devika. Jalal hendak menahannya, tapi dirungkan niatnya itu setelah menangkap isyarat mata dari Jodha.
Jodha berbicara sambil menggenggam kedua tangan Devika.
Jodha –“Cintailah dirimu sendiri dan orang-orang yang menyayangimu. Kekasihmu bukanlah pusat duniamu, masih ada teman dan keluargamu yang juga butuh perhatianmu. Nikmatilah hidupmu. Bukan hanya pacarmu yang bisa memberikanmu cinta.
Devika mulai mencerna semua penjelasan Jodha. Dia yang awalnya datang dengan kemarahan membabi buta, sekarang dia sudah mulai tenang.
Jodha –“Dan ini tips dariku. Jika kekasihmu masih merayu wanita lain lagi, maka dia tidak layak untukmu. Carilah pria lain. Pria yang akan memperjuangkan cintamu. Pria seperti itulah yang pantas kau perjuangkan.
Devika –“Kau benar, selama ini hanya aku yang sibuk mengejar-ngejar Tuan Virindra, tapi dia, menolehpun tidak. Dia tidak pernah menghargaiku.”
Jodha –“Kau jauh lebih berharga daripada yang kau pikirkan.”
Devika meresapi penjelasan Jodha. Mungkin dia bimbang, tapi Jodha bisa melihat ada sedikit keyakinan yang mulai timbul di hatinya. Keyakinan bahwa dia tidak akan menyesal seandainya dia meninggalkan kekasihnya yang sudah mengacuhkannya.
Devika –“Terima kasih..... dan maaf karena sudah menamparmu tadi. Pasti rasanya sakit.”
Jodha –“Nanti juga sembuh.”
Devika –“Aku harus pergi...Tuan, maaf aku sudah menampar istrimu tadi. Kumohon maafkan aku. Tadi aku emosi.”
Jalal –“Kalau Jodha sudah memaafkanmu, aku tidak bisa bilang apa-apa.”
Kemudian Devika pergi. Kali ini dia pergi dengan tersenyum, bertolak belakang dengan saat dia datang tadi. Jodha dan Jalal kembali hanya berdua.
Jalal –“Aku tidak pernah bisa memahami jalan pikiran wanita. Sebentar marah-marah, lalu menangis, tiba-tiba sudah tertawa lagi.”
Jodha –“Jalan pikiran wanita dan pria tidak jauh berbeda. Hanya saja para wanita lebih bebas mengekspresikannya.”
Jalal –“Apa kau juga pernah melakukannya? Maksudku melabrak wanita yang menjadi sainganmu?”
Jodha –“Aku tidak pernah melakukannya. Aku belum pernah jatuh cinta tapi aku juga tidak ingin jatuh cinta.”
Jalal –“Tapi kenapa kau tadi diam saja? Kenapa tidak menamparnya balik?”
Jodha –“Untuk apa? Aku bisa mengerti posisinya. Dia sedang putus asa karena orang yang dicintainya menyukai wanita lain. Aku hanya ditampar saja, bukan hal yang besar. Wanita lain bisa melakukan hal yang lebih nekat dari itu.”
Dalam hati, Jalal merasa heran sendiri dengan tingkahnya. Tidak biasanya dia peduli pada apa yang dilakukan orang lain terutama wanita. Dan sekarang dia mulai peduli pada istrinya. Menyebut kata ‘istrinya’ masih terasa aneh, tapi cukup enak didengar di telinganya. Membuatnya tersenyum. Tapi senyumnya kembali memudar saat melihat pipi Jodha yang mulai memerah bekas tamparan tadi.
Jodha –“Tuan Jalal, aku harus masuk sekarang.”
Jalal –“Iya, masuklah, aku juga harus pergi. Hanya sebentar, aku akan segera kembali kemari. Kau jangan kemana-mana dulu.”
Setelah berkata seperti itu, Jalal pergi meninggalkan Jodha. Sebenarnya Jodha ingin tahu kemana Jalal akan pergi, lalu kenapa juga dia diminta menunggunya, tapi pertanyaannya tertahan di kerongkongan. Dia tidak akan melanggar janji yang sudah mereka sepakati. Urusan Jalal adalah urusan Jalal. Jodha hanya berharap Jalal tidak melakukan hal-hal yang tidak diharapkan....
*******************
–NEXT--
next please......
ReplyDeletenext min........:)
ReplyDeleteLanjut min.....!!!
ReplyDeleteLanjuuuuuuut :)
ReplyDeleteLLlaaaaaaaannnnjjjjuuuuttttt. . . .
ReplyDeleteLaNjuuttt Lagiii...
ReplyDeleteAhhhhh.....pasti tuh si tuan Jalal pergi ngambil obat buat pioi Jodha, aiissshhh dah mulai sweet neeehhh..lanjouuuttttt nanda Chus...mba Tyas...
ReplyDeleteYeeeeee
ReplyDeleteBenih2 cinta mulai muncul ni sepertinya?
Next min next chusni
Lanjuuuttt donk non Tyas. Thanks y buat mimin yang rela ke kampus hanya untuk posting FF.
ReplyDeleteWah Jalal g tau tuch klw sarapannya Jodha yang masak. Kayaknya dah mulai simpati nech, yakin nech g bakalan melanggar peraturan yang dah disepakati..
Sama-sama, Bunda Salmah...
DeleteNext mba..
ReplyDelete