By: Tyas Herawati Wardani
Mendengar ada orang bicara, Jodha tersadar dari lamunannya. Dia menoleh mencari asal suara. Saat itulah dia melihat seorang pria dan seorang gadis berdiri dekat pintu ruangan yang tadi dimasuki oleh ayahnya. Kedua orang itu memandang ke arahnya, namun karena Jodha tidak merasa mengenalnya, dia hanya menoleh sekilas dan kembali terpekur menatap keluar jendela. Tapi anehnya, dia merasa ada kebencian dalam tatapan gadis itu padanya. Namun saat Jodha menoleh kembali, kedua orang itu sudah tidak nampak.
Rupanya Jalal menyeret Bhaksi masuk ke ruangannya sebelum kemarahan adiknya itu meluap-luap. Karena ada tamu yang menunggunya, maka Jalal menyuruh adiknya diam, sementara dia menyelesaikan urusan dengan tamunya.
Jalal: “Tuan Bharmal...Silakan”
Jalal duduk di kursinya, berhadapan dengan Tuan Bharmal tapi terpisahkan oleh meja yang cukup besar.
Bharmal: “ Saya kemari untuk menindaklanjuti tawaran sebelumnya.”
Jalal: “Dari pihak saya, saya tetap berpegang pada harga yang sudah diajukan.”
Bharmal: “Pada dasarnya saya setuju, tapi ada satu permintaan khusus dari saya. Bisakah operasional pabrik itu dipertahankan? Ini demi rasa kemanusiaan semata. Karena pabrik itu adalah tumpuan hidup para karyawannya.”
Jalal: “Kurasa anda tidak berhak ikut campur pada urusan saya terutama pada apa yang akan saya lakukan nanti.”
Bharmal: “Memang benar, tapi tidak bisakah anda sedikit berempati?”
Jalal: “Saya tidak suka berkompromi dalam bisnis.... Baiklah, sepertinya keputusan ini sudah final. Selanjutnya pengacara saya yang akan mengurus surat-suratnya. Jika tidak ada hal penting yang akan dibicarakan, pertemuan kita hari ini selesai. Selamat siang..”
Jalal menjabat tangan Tuan Bharmal dan mempersilakannya keluar. Dari celah pintu yang membuka saat Tuan Bharmal keluar, sekilas Jalal bisa melihat gadis itu berdiri menghampirinya. –‘Jadi gadis itu datang bersama Tuan Bharmal?..Apa dia sekretarisnya?..Sepertinya bukan, pakaiannya lebih kasual..Atau apakah dia putrinya?..Stop! kenapa aku harus peduli?!’—Jalal berkutat sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan di dalam pikirannya. Dia baru tersadar saat Bhaksi berujar...
Bhaksi: “Kakak, kau melamun lagi...Apa kau masih memikirkan gadis tadi?”
Jalal: “Ah..Tidak, di otakku hanya ada bisinis. Aku tak perlu memikirkan soal wanita, biar saja para wanita itu yang memikirkan diriku.”
Bhaksi: “Kakak sombong sekali. Tapi ingat ya Kak, jangan pernah sekalipun mendekati gadis tadi. Jauhkan dia dari kehidupanku!”
Jalal: “Kenapa kau sangat membencinya?”
Bhaksi: “Gara-gara gadis itulah, Shahabuddin memutuskan aku. Padahal aku sangat mencintainya. Shahab tidak menghargai kakak sama sekali padahal kakaklah yang membiayai seluruh biaya pendidikan dokternya. Aku yakin gadis itu sudah merayunya hingga Shahabuddin berani menentang Kakak dan memutuskan pertunangan denganku.”
Jalal: “Jadi gadis itu! Yang sudah menyebabkan penghinaan yang besar pada namaku. Gara-gara batalnya pertunanganmu, namaku tercoreng di antara kolegaku. Aku dianggap sebagai orang yang tidak patut dihormati. Kapan-kapan kita harus memberinya sedikit pelajaran .”
Bhaksi: “Aku pasti mendukungmu, Kak.”
Kemarahan Bhaksi adalah kemarahan Jalal, begitupun kebahagiaan Bhaksi adalah kebahagiaan Jalal. Bagaimanapun juga, Bhaksi adalah adik dan juga keluarga satu-satunya keluarga yang dimiliki Jalal sejak kedua orang tuanya meninggal.
Saat itu, ketika Bhaksi mengatakan sedang jatuh cinta, sebagai seorang kakak, Jalal berusaha melakukan yang menurutnya terbaik untuk memastikan kebahagiaan adiknya. Jalal memutuskan membiayai pendidikan Shahabuddin, selain karena Shahabuddin berasal dari keluarga menengah dan agar pria itu tahu seberapa besarnya kemampuan finansial Jalal, juga untuk memastikan Shahabuddin tidak akan meninggalkan Bhaksi. Tetap saja semua yang ditakutkankannya terjadi. Shahabuddin meremehkan semua pengorbanan Jalal dan meninggalkan Bhaksi yang terluka demi wanita lain.
Sejak dulu Jalal memang tidak pernah percaya pada wanita. Bukannya dia bersikap antipati, hanya saja dia tidak pernah melibatkan emosi saat berhubungan dengan wanita, semua hanya untuk kesenangan semata. Bagaimanapun dia adalah seorang lelaki. Di usianya yang menginjak 30 tahun, Jalal belum pernah sekalipun jatuh cinta.
Wanita dianggapnya sebagai biang kehancuran keluarganya. Ibunya meninggal bunuh diri saat dia berusia 15 tahun, alasannya karena ibunya tidak tahan dengan sikap ayahnya yang senang main perempuan. Ayahnya bukanlah tipe pria setia. Dia berhasil sebagai seorang pengusaha, tapi dia gagal sebagi ayah. Jalal dan Bhaksi tidak pernah merasakan perhatian dan kasih sayang ayahnya. Bila tidak sedang sibuk mengurus bisnisnya, maka ayahnya sibuk bersama wanita lain. Menghambur-hamburkan uang demi wanita adalah hal yang disukai ayahnya, hingga aset pibadi dan perusahaannya ikut terkuras habis. Saat ayahnya meninggal, dia hanya mewariskan perusahaan yang bangkrut dan hutang yang bertumpuk pada Jalal.
Kepahitan hidup yang dialami Jalal membangunnya menjadi seorang pribadi yang tangguh, berkemauan keras hingga kadang terkesan kejam. Perlahan dia membangun usaha yang diwarisi dari ayahnya dari titik nol hingga bisa kembali diperhitungkan sebagai perusahaan pengembang yang cukup diperhitungkan di Delhi. Dia masih berambisi besar melebarkan sayap usahanya ke seluruh India bahkan ke luar negeri.
Media lokal pernah menjuluki Jalaluddin Akbar sebagai salah satu The Most Wanted Bachelor in Delhi. Di mata para wanita, Jalal adalah kekasih idaman. Wajah tampan dan badan yang kekar atletis membuatnya selalu menjadi pusat perhatian. Tatapan matanya yang tajam, sinis dan terkesan misterius memesona semua wanita. Ditambah lagi sikap dan perawakannya yang terkesan jantan dan maskulin. Dan yang paling utama adalah embel-embel nominal kekayaannya yang membuat para wanita haus harta berebut mendekatinya. Perpaduan semua hal itu membuat Jalal mudah mendapatkan teman kencan, tanpa merayupun, para wanita sudah bertekuk lutut padanya. Tercatat mulai dari rekan usaha, artis, model bahkan atlit pun pernah dikencaninya.
Dari semua wanita yang pernah dikencaninya, tidak ada satupun yang membuatnya terkesan. Dengan mudah dia melupakan wanita yang satu jika sudah berkencan dengan wanita yang lain. Tidak ada yang pernah mencuri waktu tidurnya atau mengusik konsentrasi kerjanya.
Hingga dia bertemu GADIS itu...
Malam ini sudah malam kedua Jalal memikirkan dia. Di meja masih berserakan berkas-berkas yang harus dikerjakannya, tapi pikirannya berkelana kembali pada pagi itu...—‘Siapa dia?...Kenapa aku terus-menerus memikirkannya?...Aku bahkan belum tahu siapa namanya?... Rasanya seperti ada sesuatu yang menarikku dengan kuat, hingga bayangannya saja tidak bisa lepas dari ingatanku... Aku harus melakukan sesuatu...’— Frustasi dengan yang dipikirkannya Jalal mengacak-acak rambutnya yang agak panjang.
--‘Aku punya rencana, dan ini pasti akan berhasil. Setelah aku menemuinya, akan kulihat apakah ini semua hanya rasa penasaranku saja atau ada yang lain. Jika semuanya sudah terjawab, aku tidak akan membutuhkannya lagi’—
Jalal kemudian menelpon seseorang....
Keesokan paginya, Tuan Bharmal Bharti sudah bersiap di kantornya. Semalam dia menerima telepon dari pengacara yang mewakili Tuan Jalaluddin mengabarkan dia dan kliennya akan datang hari ini untuk melihat-lihat pabrik sekaligus menyelesaikan berkas-berkas pengambil alihan aset.
Pukul sembilan tepat Jalal dan pengacaranya memasuki ruang kantor Tuan Bharmal. Rasa penasaran Jalal telah membawanya sampai sejauh ini, biasanya dia tidak suka mengurusi tetek-bengek sehubungan dengan surat-surat perjanjian. Dia mempercayakan sepenuhnya pada pengacaranya. Pengecualian untuk hari ini. Dibalik sikap tenang dan dinginnya, ternyata dia menahan keinginan yang kuat untuk segera menemukan gadis yang telah mengusik pikirannya: ‘Dimana gadis itu?’—
Jalal tidak menemukannya di kantor Tuan Bharmal –‘Gadis itu bukan sekretarisnya’—batin Jalal, karena ternyata sekretaris Tuan Bharmal adalah seorang wanita yang lebih dewasa usianya. –‘Kalau begitu hanya tinggal satu kemungkinan, gadis itu punya hubungan keluarga dengan Tuan Bharmal, saatnya menjalankan rencanaku yang lain’—pikiran Jalal benar-benar dikuasai oleh rasa penasarannya. Dia bahkan sama sekali tidak fokus selama proses penandatanganan perjanjian.
Setelah semua urusan selesai, Tuan Bharmal mempersilakan Jalal dan pengacaranya makan siang bersama di rumahnya. Sebenarnya ini adalah siasat Jalal untuk bisa diundang ke rumah Tuan Bharmal. Dia berdalih ingin berkenalan dengan anggota keluarga Tuan Bharmal yang lainnya, sehingga mau tidak mau Tuan Bharmal mengajak Jalal bertandang sekaligus makan siang di rumahnya.
Disanalah Jalal menemukannya. Gadis itu sedang berjongkok di samping motornya, tidak jelas apa yang sedang dilakukannya. Meski Jalal melihatnya dari arah belakang, tapi dia yakin gadis itulah yang dicarinya. Tuan Bharmal memanggilnya...
Bharmal: “Jodha”
Jodha: “Ayah? Sudah pulang?”
Bharmal: “Iya. Kenalkan ini Tuan Jalaluddin, dia akan makan siang bersama kita hari ini.”
Jodha: “Salam Tuan”
Jalal: “Salam Nona Jodha”
Gadis itu ternyata sedang mengganti oli motornya. Terlihat sedikit coreng hitam di tangan dan wajahnya. Jalal menahan senyumnya –“Hebat juga gadis ini, dia bahkan bisa mengganti sendiri oli motornya”—Dalam hati Jalal heran, kenapa hanya karena bisa melihat gadis ini lagi, serasa dia merasa sangat beruntung hari ini.
Di dalam rumah, Jalal disambut Ibu Meena dan menantunya. Sedangkan Jodha tidak menampakkan diri sampai saatnya semua anggota berkumpul di meja makan. Selama makan siang Jalal tidak bisa berhenti memandangi Jodha, entah orang lain tahu atau tidak yang sedang dilakukannya, Jalal tidak peduli. Satu-satunya orang yang pasti menyadarinya adalah Jodha. Dipandangi seperti itu, Jodha merasa jengah tapi dia tidak bisa berkata apa-apa karena takut merusak suasana saat itu. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ditanyakan Jodha pada Tuan Jalal itu, dia hanya sedang menunggu saat yang tepat.
Kesempatan itu datang ketika Jalal sedang duduk sendiri di teras belakang menikmati angin sejuk di udara yang panas siang itu. Jodha mendekatinya..
Jodha: “Tuan Jalal, maaf mengganggu.”
Jalal: “Silakan Nona Jodha.”
Jodha: “ Bolehkah saya bertanya sesuatu?”
Jalal: “Ya, hal apa?”
Jodha: “Kalau boleh saya tahu, apa yang akan anda lakukan pada pabrik ayah setelah ini?”
Jalal: “Aku ralat, pabrik itu sudah sah menjadi milikku. Apa yang akan kulakukan pada pabrik itu rasanya bukan urusanmu.”
Jodha: “Maaf bukan maksud saya mencampuri urusan anda. Pertanyaan saya berkaitan dengan nasib para karyawan pabrik, jadi tidak bisakah anda sedikit berbaik hati dan melakukan sesuatu agar mereka tidak menderita?”
Jalal: “Saya adalah pebisnis, dalam bisnis tidak memakai hati. Kalau memakai hati itu namanya beramal. Lagipula, kau tidak perlu berpura-pura memedulikan mereka, Nona Jodha.”
Jodha: “Apa maksud anda? Saya benar-benar peduli pada mereka. Mereka telah bekerja selama bertahun-tahun dan ayah saya memperlakukan mereka seperti keluarga.”
Jalal: “Tapi buktinya ayahmu tetap gagal mempertahankan usahanya, bukan?! Jangan pernah melibatkan hati dalam bisnis. Sama seperti dirimu, jangan berpura-pura memiliki hati jika kau sendiri tidak peduli pada perasaan orang lain.”
Jodha: “Aku tidak mengerti maksud anda.”
Jalal: “Bukalah ingatanmu, Nona Jodha! Kau mengira kita tidak pernah saling mengenal, bukan?! Atau mungkin karena begitu seringnya kau menipu dan menyakiti perasaan orang lain, kau lupa siapa saja yang pernah kau sakiti. Saat kau merayu seorang pria, pernahkah kau berpikir kalau dia adalah kekasih atau tunangan seseorang? Atau kau memang sengaja melakukannya dan menikmatinya?”
Jodha: “Tuan Jalal, kumohon hentikan kata-kata anda! Anda sama sekali tidak tahu apa yang sedang anda bicarakan!”
Jalal: “Kenapa? Kau tertangkap basah? Apakah aku berhasil menyadari muslihatmu? Aku tahu kau sebenarnya sedang menjalankan rencana licikmu mendekatiku dengan berpura-pura peduli pada orang lain. Dengan terlihat seakan hatimu baik, kau berharap aku jatuh pada pesonamu kan?! Kau salah, aku hapal siasat gadis sepertimu untuk menjebak seseorang.”
Jodha: “Anda benar-benar tidak sopan!!”
Setelah berkata seperti itu, Jodha pergi meninggalkan Jalal sendiri. Menahan amarah yang rasanya seperti mau meledak –‘Dia pikir dia itu siapa bisa berkata seenaknya?! Dia pasti salah orang! Apa maksud semua ucapannya?!’—Untung saja , Ibu dan ayahnya tidak ada yang mendengar pembicaraannya dengan Jalal tadi. Baru bertemu sekali, Jodha sudah merasa sangat membenci Jalal. Dia bahkan tidak menemui Jalal saat dia pamit pulang. Dia tidak mau lagi berurusan dengan pria itu.
Jalal merasa sedikit lega setelah mengatakan semuanya tadi, dia merasa sudah berhasil membalas sakit hati yang dirasakan adiknya dan dia berencana untuk melakukannya lagi, tapi untuk itu dia harus memikirkan cara yang lain. Selama berkendara kembali ke Delhi, dia terus memutar ulang percakapan antara dirinya dan Jodha -‘Kenapa rasanya masih ada yang salah? Kenapa sepertinya dia jujur? ...Tidak, dia pasti berakting, untung saja aku tidak tertipu kepolosannya... Benarkah dia sungguh tidak tahu?..’—Berbagai pertanyaan masih bergelayut dalam pikirannya, dan Jalal tidak mendapatkan satupun jawaban yang tepat.
Sesampainya di Delhi, Jalal langsung menuju kantornya. Meski sudah menjelang sore, namun Jalal tidak punya niat untuk pulang ke apartemennya. Dia lebih memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan daripada pikirannya melantur kemana-mana.
Asisten Jalal menemuinya ketika dia masih menenggelamkan diri di antara berkas-berkas di mejanya, dia membawa kabar yang membuat Jalal sangat kecewa. Tender yang selama ini diimpikannya ternyata ditolak, padahal Jalal dan anak buahnya sudah mempersiapkannya dengan cukup matang. Untuk memastikannya, Jalal menghubungi langsung calon kliennya.
Setelah melalui perdebatan panjang di telepon, Jalal bisa menyimpulkan bahwa proposal tendernya ditolak karena alasan yang lebih bersifat pribadi, sama sekali jauh dari perkiraannya. Calon kliennya beralasan bahwa reputasi Jalal sehubungan dengan beberapa skandal percintaannya yang diberitakan media akan berpengaruh pada sukses tidaknya proyek itu. Sama sekali bukanlah alasan profesional menurut Jalal ..–‘Apa-apaan ini!!.. Kenapa menjadi masalah aku menikah atau tidak?!!...Apa maksud mereka sebenarnya?....Apa proposalku akan diterima jika aku sudah menikah...?...Alasan macam itu!!...Brengsek!! Semuanya kacau!!..’—
Lama Jalal merenungkan penolakan itu –‘Apa aku harus menikah supaya mereka menyetujuinya?? ..Kenapa mereka harus mencari pria yang sudah menikah jika aku bisa melakukannya lebih baik?!!..Aku sama sekali tidak ingin menikah! Seorang istri akan menyusahkan hidupku!..’—
Tiba-tiba seulas senyum licik terukir di wajahnya, rupanya sebuah ide muncul di otaknya –‘Benar, aku butuh seorang istri yang bisa kugunakan hanya pada saat aku memerlukannya saja. Dia hanya akan menjadi simbol pernikahan. Aku akan mengendalikan seluruh hidupnya.. tentunya dengan pertukaran yang pantas. Aku akan lihat sampai berapa lama dia bisa bertahan...’—
Jalal merasa bangga akan idenya. Dia bukan hanya tersenyum, tapi tertawa terbahak membayangkan keberhasilan dan kemenangan yang akan diraihnya... –‘Besok kita akan bertemu lagi, Nona’—
**************************
Short Story Just Love part yang lain Klik Disini
Ah....ad kesalah fahaMaN Nee... pastiNya... LaNjutaNNya di tuNggu yaa.... peNasaraN saMa jalal yg Mau MelaMar Jodha... Hahahaha...
ReplyDelete