By: Tyas Herawati Wardani
Jalal sedang berdiri berhadapan dengan Tuan Bharmal di ruangan kantornya di dekat pabrik.
Bharmal – “Tuan Jalal, saya tidak menyangka anda datang lagi kemari secepat ini. Saya masih belum menyelesaikan kewajiban terakhir saya pada karyawan. Baru kemarin kita menandatangani surat pengalihan asetnya, jadi saya belum menyelesaikan pembayaran pesangon untuk seluruh karyawan.”
Jalal – “Jangan khawatir, Tuan Bharmal. Saya belum akan menuntut hak saya. Kedatangan saya kesini untuk membicarakan hal lain.”
Bharmal – “Silakan, Tuan Jalal.”
Jalal – “Saya ingin meminta ijin dari anda untuk menikahi putrimu, Jodha.”
Bharmal – “APA!!”
Jalal – “Benar, Tuan Bharmal, saya berniat menjadikan Jodha sebagai istri saya.”
Bharmal – “Apakah anda sudah membicarakan hal ini dengan Jodha?”
Jalal – “Belum, saya memang sengaja meminta persetujuan anda terlebih dahulu. Setelah itu saya atau anda yang akan memberitahu Jodha.”
Bharmal – “Ini mendadak sekali, Tuan Jalal. Setahu saya Jodha belum pernah mengenal anda sebelumnya. Jadi, bagaimana ceritanya tiba-tiba anda melamar putriku.”
Jalal – “Benar, kemarin adalah pertama kali saya bertemu putri anda. Mungkin... ini semua adalah takdir.... Bagaimana? Anda menyetujuinya?”
Bharmal – “Semuanya tergantung pada Jodha. Dia setuju atau tidak, aku akan mengikuti apapun keputusannya.”
Jalal – “Kalau begitu tugas andalah untuk meyakinkannya. Lagipula, jika kita sudah menjadi satu keluarga, saya bermaksud akan menyerahkan pengelolaan pabrik ini pada anda kembali. Bukankah anda sangat peduli pada nasib karyawan anda?”
Bharmal – “Jadi itu timbal baliknya.... Kuperingatkan Tuan Jalal!! Dengan alasan apapun, aku tidak akan menjual kebahagiaan putriku! Camkan itu baik-baik!!”
Jalal – “Baiklah.. baik.. Begini saja, sampaikan hal ini pada putrimu. Jika dia menolaknya, aku tidak akan memperpanjangnya lagi. Tapi besok, ijinkan aku menemui putrimu.”
Bharmal – “Baiklah..”
Pembicaraan merekapun berakhir, menyisakan beribu pertanyaan di benak Bharmal – ‘Bagaimana caraku memberitahu Jodha? Apa yang harus kukatakan pada keluargaku? Bagaimana reaksi mereka?’—
Mau tidak mau, Tuan Bharmal tetap harus menceritakan semuanya pada keluarganya. Pada malam hari usai makan malam, Tuan Bharmal mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan menyampaikan isi pembicaraan dirinya dan Jalal tadi pagi.
Seperti yang diduga, seluruh keluarga menentang keras rencana Jalal. Ibu Meena merasa tidak rela menikahkan Jodha dengan Jalal karena reputasi Jalal yang suka bergonta-ganti teman kencan. Dia sangsi Jalal akan menghentikan kebiasaannya itu meski sudah menikah, dan menurutnya hal itu pasti akan lebih menyakitkan bagi Jodha. Sedang kakak Jodha berpendapat bahwa terlalu cepat membicarakan soal pernikahan, faktanya mereka baru bertemu sekali, meski mungkin Jalal memang menyukai Jodha, tapi Jodha pasti membutuhkan waktu untuk lebih mengenal Jalal secara pribadi. Di sisi lain, ayah Jodha hanya diam, tidak berkata apa-apa. Dia berada dalam dilema, satu sisi adalah kebahagiaan Jodha, sedangkan sisi lainnya adalah kesempatan untuk mempertahankan usaha yang telah dirintisnya bertahun-tahun serta untuk menyelamatkan masa depan karyawannya.
Jodha, yang menjadi tokoh utama perdebatan mereka, hanya terduduk diam. Otaknya hanya mampu mengulang kata-kata yang sama –‘Jalal ingin menikah denganmu, Jodha’—Bahkan perdebatan yang terjadi di depannya terdengar seperti dengungan saja. Hingga semua anggota keluarganya sudah tertidur, Jodha masih terjaga. Di dalam kamarnya, Jodha duduk di atas kasur memeluk lututnya. Di dalam pikirannya, berbagai pertanyaan, pertimbangan dan penyangkalan saling tumpang tindih seakan ingin berebut keluar –‘Benarkah itu semua? Apa Jalal sungguh-sungguh? Sepertinya Jalal bukan orang yang bisa bercanda. Kebenciannya padaku terlihat jelas, jadi kenapa dia malah melamarku? Tapi jika aku menerima lamarannya, paling tidak aku meringankan dua beban keluargaku sekaligus... tapi jika aku menolaknya.. pabrik ayah...’—
Keesokan paginya, pembicaraan di dalam rumah Jodha masih seputar topik yang sama. Jodha pun memberanikan diri untuk bersuara..
Jodha – “Ayah, ibu, kakak, aku sudah memutuskan untuk menerima lamaran Tuan Jalal.”
Ibu Meena – “Tidak mungkin Jodha, kau belum memikirkannya masak-masak, Nak.”
Bharmal – “Benar, Jodha. Jika yang kau khawatirkan aku dan kakakmu, jangan pikirkan itu. Jangan menghukum dirimu sendiri. Kami masih bisa melakukan bisnis yang lain. Kami akan mulai lagi dari awal. Pikirkanlah kebahagiaanmu sendiri. Pernikahan harus didasari saling cinta atau paling tidak saling mengenal dan menghargai. Tapi lihatlah dirimu, mengenalnya saja tidak, apalagi mencintainya.”
Jodha – “Itulah yang kuinginkan, ayah. Aku tidak punya perasaan apa-apa padanya, berarti aku tidak akan merasa bersalah padanya jika suatu saat dia tahu masa laluku. Aku sadar, meski kalian tidak mengakuinya, tapi apa yang terjadi padaku enam tahun lalu sudah menjadi beban berat dalam kehidupan kalian. Aku berterima kasih karena ayah dan ibu sudah mendukungku selama ini, sekarang giliranku untuk berbakti pada kalian. Sejak mimpi buruk itu, aku sudah tidak berani lagi bermimpi tentang sebuah pernikahan. Kini, jika aku menikah, beban kalian akan terangkat.”
Ibu Meena – “Tidak, Jodha. Kau tidak pernah menjadi beban bagi kami. Kau adalah kebanggaan kami. Kau kekuatan dan inspirasi kami. Kau sudah menunjukkan hal-hal besar yang bisa dilakukan seorang gadis. Kau sudah bangkit dengan kekuatanmu sendiri, jadi kau layak untuk bahagia. Pasti banyak pria di luar sana yang ingin menikah denganmu.”
Jodha – “Pikirkanlah Ibu, tidak ada yang akan rugi jika aku mengambil keputusan ini. Pabrik akan kembali ke tangan ayah dan kakak. Dan bukankah impian kalian juga bisa melihatku menikah?! Aku akan berbakti pada suamiku, aku akan membuat kalian bangga. Dan kupastikan, aku bisa menjaga diriku sendiri. Aku tidak akan membiarkan orang lain merendahkanku.”
Ibu Meena – “Ohh..Jodha, anakku...”
Ibu Meena menangis sambil memeluk Jodha. Jodha pun menangis. Bahkan ayahnya pun menitikkan air mata. Tangisan ini adalah campuran perasaan bahagia dan tidak berdaya. Ini adalah keputusan terbesar dalam hidup Jodha. Namun Jodha berjanji dalam hati, dia akan menghadapi apapun yang akan terjadi dalam kehidupan pernikahannya dengan kepala tegak, dia tidak akan menangis lagi. Hal terburuk dalam hidupnya sudah berhasil dilewatinya, jadi tidak mungkin dia akan terjatuh lagi.
Jodha meminta ayahnya menghubungi Tuan Jalal. Dalam pembicaraan singkat itu, Tuan Bharmal menyampaikan keinginan Jodha untuk menemui Jalal di Delhi. Jodha merasa lebih tenang jika dia yang mendatangi Jalal, sebab jika Jalal yang menemuinya, dia khawatir tidak bisa mengendalikan perasaan karena ada ibu dan ayahnya di dekatnya.
Sejak kemarin, Jalal sudah tidak sabar menunggu kesempatan ini. Dia sudah bersiap-siap hendak pergi menemui Jodha di Uttar Pardesh, tapi ternyata Tuan Bharmal mengabarkan bahwa Jodha yang akan pergi ke Delhi.
Sesampainya Jodha di kantor Jalal, dengan semua ketenangan yang dimilikinya, Jodha memasuki ruangan Jalal.
Jalal – “Selamat datang di tempatku, Nona Jodha.”
Jodha – “Tuan Jalal, aku tidak ingin berbasa-bagsi lagi. Tolong katakan apa alasanmu sesungguhnya menikahiku.... Dan jangan katakan karena cinta, aku tidak akan percaya sama sekali.”
Jalal – “Haha... (Jalal terkekeh). Kau lugas sekali, ternyata aku tidak bisa membodohimu. Tapi tidak perlu terburu-buru, kita punya waktu sehari penuh untuk membicarakannya.”
Jodha – “Jadi tolong katakan Tuan Jalal, aku menunggu penjelasanmu.”
Jalal mempersilakan Jodha duduk, yang hanya dibalas dengan tatapan dingin, meski akhirnya mereka duduk berhadapan pada masing-masing sisi meja kerja Jalal. Jalal bisa melihat dibalik sikap angkuh dan dingin yang ditampilkan Jodha, sebenarnya gadis itu sedang gusar dan ketakutan. Sejak awal Jalal yakin dialah yang akan memegang kendali, tapi kali ini dia masih ingin mempermainkan perasaan gadis di depannya ini. Caranya adalah dengan mengulur-ulur waktu, alih-alih langsung menjawab pertanyaan Jodha.
Jalal – “Bisa kutebak kalau kau menyetujui rencana pernikahan ini, karena hal pertama yang kau tanyakan adalah alasanku menikahimu.”
Jodha – “Jangan terlau senang dulu Tuan Jalal. Persetujuanku tergantung pada jawaban yang akan kau berikan.”
Jalal – “Well, kalau begitu kita tidak perlu lagi berbohong... Alasanku ingin menikahimu karena aku membutuhkanmu sebagai seorang istri. Bukan istri yang sebenarnya, tapi hanya status sebagi seorang istri. Aku ingin ada wanita yang berdiri di sampingku dan bisa kukenalkan sebagai istriku pada kolegaku.”
Jodha – “Lalu kenapa aku? Kau kan punya banyak teman wanita?”
Jalal – “Ada beberapa alasan, apa kau cukup bersabar mendengarkan penjelasanku satu per satu?”
Jodha hanya menjawabnya dengan mengangkat kedua alisnya, seakan dia menjawab –‘Katakan, aku akan mendengarkan’—
Jalal – “Pertama karena kau pernah mempertanyakan hatiku.. Menurutku sekarang aku bertindak dengan hati.... Kau menuntut aku berempati pada nasib karyawan ayahmu, maka aku akan menyerahkan pengelolaan pabrik ke tangan ayahmu kembali, dengan begitu pekerjaan mereka bisa dipertahankan. Uang yang sudah kukeluarkan untuk membeli pabrik, akan kuanggap sebagai hadiah, dan ayahmu bisa memanfaatkannya untuk biaya operasional. Keluargamu juga tidak akan mengalami kesulitan finansial lagi. Itu semuanya akan terwujud jika kita menikah... Pertukaran yang adil, bukan?!”
Jodha – “Apa ada alasan yang lainnya?”
Jalal – “Percaya atau tidak, saat aku memikirkan tentang pernikahan, wajahmulah yang pertama muncul dalam pikiranku... Jujur saja, bagiku pernikahan tidaklah seperti yang terlihat di film-film, faktanya pernikahan itu adalah sebuah kontrak kerjasama antara dua pihak yang saling memberi keuntungan... Tidak ada lagu-lagu cinta, tarian, puisi ataupun janji suci sehidup semati.”
Jodha – “Tunggu dulu.. apa kaitannya wajahku yang muncul dan pernikahan menurut versimu itu?”
Jalal – “Sama-sama tidak melibatkan perasaan.”
Jodha meremas tangannya sampai kuku-kukunya menusuk telapaknya. Dia mengerahkan seluruh kendali dirinya agar amarahnya tidak meledak setelah mendengar kata-kata Jalal yang terakhir.
Jodha – “Kau tidak mengenalku, beraninya kau berbicara tentang perasaanku!”
Jalal – “Aku memang tidak mengenalmu, tapi aku tahu wanita seperti apa dirimu. Kau merayu pria-pria kaya, berharap mereka akan melimpahimu dengan kemewahan, setelah kau puas, kau mencampakkan mereka. Bukankah tindakan seperti itu tidak pernah melibatkan perasaan? Sekarang aku memberimu kesempatan mudah tanpa harus merayuku, kau akan hidup nyaman asalkan kau menurut padaku.”
Jodha – “Lagi-lagi kau mengatakan omong kosong itu. Katakan!! Siapa pria yang kau maksud.”
Jalal – “Wah.. wah.. wah... apa sebegitu banyaknya pria yang kau rayu sampai kau lupa nama mereka satu per satu... Shahabuddin.. dia adalah tunangan adikku sebelum bertemu denganmu.”
Jodha – “Kak Shahabuddin.. dokter di Delhi International Hospital?”
Jalal – “Apa kau mengenal Shahabuddin yang lain? Asal kau tahu, dia telah berkencan dengan adikku selama dua tahun, bahkan mereka sudah bertunangan!. Setelah bertemu denganmu, dia memutuskan hubungan dengan adikku. Bisa kau bayangkan bagaimana sakit hatinya adikku?! Apakah kau pernah memikirkan itu saat merayunya?”
Jodha – “Ya Tuhan.. aku tidak tahu kalau Kak Shahab punya tunangan. Maksudku... hubunganku dengannya tidak seperti yang kau pikirkan.”
Jodha mulai goyah pertahanan dirinya. Ingatannya berputar kembali ke waktu satu tahun yang lalu. Saat Shahabuddin berterima kasih padanya:
Shahabuddin – “Jodha, terima kasih. Aku bersyukur karena mengenalmu. Engkau telah memberikan pandangan baru untukku. Aku sadar kalau apa yang selama ini kukerjakan belum memberikan ketenangan pada batinku. Aku merasa malu menikmati semua kemewahan ini. Jadi, aku sudah putuskan untuk meninggalkan semua kenyamanan ini dan mengikuti kata hatiku.”
Jodha – “Aku pasti mendukungmu, Kak Shahab. Kita akan sama-sama berjuang.”
Jodha sama sekali tidak mempertimbangkan jika Shahabuddin memiliki seorang kekasih. Seandainya dia tahu, dia pasti akan menghalangi niatnya. Namun semua sudah terjadi, waktu tidak bisa diputar kembali. Yang harus dihadapi adalah saat ini.
Jalal – “Apa kau menyesal?”
Jodha – “Maafkan aku soal Kak Shahab, dan tolong sampaikan permintaan maafku pada adikmu. Aku tidak sengaja sudah menyakiti hatinya. Apakah dia masih bersedih?”
Jalal – “Jangan pura-pura peduli!!.”
Jodha – “Sekarang aku tahu.. inilah alasan sebenarnya kau ingin menikahiku, kan?! Kau ingin membalas dendam padaku atas penderitaan adikmu.. Apa kau berniat menyiksa hidupku??”
Jalal – “Apa bisa disebut balas dendam jika yang kulakukan justru memberikan apa yang selalu kau inginkan. Kau akan menikmati kemewahan, kenyamanan dan nama besar sebagai istri Jalaluddin Akbar.”
Jodha – “Tapi hidupku akan seperti di penjara.”
Jalal – “Tidak sampai seperti itu. Asal kau mematuhi tiga poin penting yang telah kutetapkan dalam kehidupan pernikahan kita nanti.”
Jodha – “Apa perlu kutandatangani juga sekarang?”
Jodha menjawab dengan sarkastik, tapi justru Jalal membenarkannya...
Jalal – “Sedang dipersiapkan pengacaraku. Aku hanya berjaga-jaga agar jangan sampai kau melewati batas.”
Jodha mendengus sebal, dia berpkir ternyata Jalal memang berniat menjadikan pernikahan ini semata hubungan bisnis. Bahkan dia menyusunnya seperti sebuah kontrak kerja yang dilegalkan oleh pengacara.
Jalal – “Poin pertama, aku yang mengendalikan semuanya. Kau tidak boleh mencampuri semua urusanku, baik itu urusan pekerjaan maupun urusan pribadiku. Kau tidak boleh berkomentar ataupun bertanya setiap hal yang kulakukan. Kita adalah dua individu yang tidak saling berhubungan, kecuali saat aku menyuruhmu untuk tampil sebagai istriku.”
Jodha – “Lalu bagaimana denganku, apa kau akan mengendalikan semua yang kulakukan?”
Jalal – “Kau boleh melakukan apa saja selama tidak menimbulkan skandal yang bisa mempengaruhi kredibilitasku di antara para kolegaku. Yang kedua, penyatuan ini sama sekali tidak melibatkan perasaan. Tidak ada hubungan intim. Selama pernikahan, aku tidak akan menyentuhmu. Kau juga jangan merayu, merengek ataupun meminta perhatianku.”
Jodha – “Aku juga tidak berharap ada hubungan intim antara kita... Dan berjanjilah, kau akan berusaha untuk tidak akan pernah jatuh cinta padaku. Kau akan kecewa nantinya.”
Jalal –“Ha.. ha.. ha.. ternyata kau lebih sombong dariku. Tenang saja, aku tidak akan sudi jatuh cinta padamu. Lagipula aku sudah kecewa padamu saat adikku memberitahu siapa dirimu. Hatimu tidak secantik wajahmu.”
Jodha – “Baguslah, jangan sampai kau sakit hati karena aku.”
Jalal – “Aku lebih pintar dari pria-pria bodoh yang takluk padamu... Yang ketiga dan paling penting, jika suatu ketika aku berubah pikiran atau aku sudah tidak membutuhkanmu, aku akan menceraikanmu, aku akan memberimu tunjangan, tapi jangan pernah sekali-kali kau menuntut pembagian harta. Kau dilarang untuk mempersulit setiap keputusanku. Kau mengerti?!”
Jodha – “Aku mengerti semua yang kau inginkan. Lalu apa yang harus kukaktakan pada orang tuaku tentang alasan sebenarnya pernikahan ini?”
Jalal – “Kau harus bisa meyakinkan mereka, itupun jika kau memikirkan nasib orang tuamu. Kau tentu tidak ingin ayahmu bekerja keras lagi di usianya sekarang, kan?!”
Jodha – “Kau sendiri, apa yang akan kaukatakan pada orang tuamu?”
Jalal – “Aku sudah tidak punya orang tua.”
Jodha – “Oh, maaf, aku tidak tahu soal itu.”
Jodha merasa menyesal atas pertanyaan terakhirnya. Dia memang tidak tahu apa-apa tentang latar belakang calon suaminya ini. Tapi entah kenapa, Jodha merasa iba ketika Jalal menjawab bahwa dia sudah tidak memiliki orang tua. Dia membayangkan hidup Jalal pasti kesepian, karena meski terkesan dingin, tapi ada nada sedih dalam suaranya saat menyebut kata orang tua.
Jalal – “Persiapkan pestanya dalam waktu satu minggu!! Setelah menikah, kau akan tinggal di apartemenku di Delhi..”
Jodha – “Aku tidak mau pesta..!!”
***********************
Short Story Just Love part yang lain Klik Disini
Aku sk jodha yg ini. Tegas walau di tindass.. bener nih gak bakak jatuh cinta bang???? lanjuut
ReplyDeleteTq
Aiiissshhhhh..... Kayanya bakalan rumit bgt nih masalahnya..... Mmg ada apa sih mba sama masa lalu Jodha??? Kq kaya suram bgt gtu...... Apa jgan-jgan ?????????
ReplyDeleteLaNjutaNNya jaNgaN LaMa yaa.... peNasaraN Nee...saMa Msa LaluNya Jodha... daN seMua sifat kasar jalal harus cpat di sesaliNya....krNa Jodha tidak seperti yg di byaNgkaN olehNya....
ReplyDeleteLllaaannnjjjuuutttt. .
ReplyDeleteKayaknya Jodha punya masa lalu yang kurang mengenakkan nech, kira2 apa ya????
ReplyDeleteAq suka ma Karakter Jodha, dia tetap tenang dan tegas walaupun sedang ditindas....
buat writer "semangat selalu untuk nulis ffnya ya, n selalu ditunggu untuk part berikutnya yang bisa menyentuh emosi para reader".
Ditunggu kelanjutannya mba.. Suka bangeth ceritanya
ReplyDeleteThanks
Ditunggu kelanjutannya mba.. Suka bangeth ceritanya
ReplyDeleteThanks
Dicari2 diubeg2 yaah...lom ada kelanjutannya, padhl Ůðªћ trlanjur suka sm cerita yg ini
ReplyDeleteSama2 keras kepala dan sombong
ReplyDeleteBeneran ni gak akan saling jatuh cinta?