By: Tyas Herawati Wardani
“Aaaaaahhhhh.....”
Jeritan itu sontak mengejutkan Jalal dan Tuan Rudolf. Keduanya bergegas keluar ruangan menuju ke arah sumber suara. Sebagai tuan rumah, Tuan Rudolf berlari di depan dan Jalal mengikutinya. Sepertinya dia yakin darimana asal jeritan itu. Mereka berlari menuju ke sebuah rumah kaca yang bangunannya terletak terpisah di samping rumah. Saat masuk ke dalamnya, mereka sama-sama terkejut.
Jalal melihat Jodha disana, di samping seorang wanita setengah baya yang tergeletak di lantai dan pingsan. Jodha berlutut di samping wanita itu dan sepertinya tidak menyadari kedatangan Jalal dan Tuan Rudolf...
Jodha – “Nyonya, tetaplah sadar... kumohon...”
Tuan Rudolf – “Martha... Martha... Ya Tuhan... apa yang terjadi.... Martha..”
Tuan Rudolf mengguncang dan memeluk tubuh wanita itu. Sepertinya dia adalah istrinya.
Jodha – “Tuan, tolong segera angkat tubuhnya dan bawa dia keluar dari sini..”
Tuan Rudolf – “Apa yang sudah kau lakukan pada istriku!!”
Jodha – “Tidak ada waktu untuk penjelasan sekarang. Tolong angkat dia dan segera panggil dokter!!”
Tuan Rudolf tersadar dan menuruti perkataan Jodha. Dia membopong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah dan membaringkannya di dalam kamar. Seorang dokter segera datang dan memberikan pertolongan pada wanita itu.
Jalal yang sejak tadi tidak bersuara, rupanya sedang mati-matian menahan amarahnya yang mulai memuncak. Dia tidak menyangka, berani-beraninya Jodha merusak semua rencananya! Tanpa berpamitan pada Tuan Rudolf yang sedang menemani istrinya, Jalal menarik dan menyeret Jodha keluar. Jodha tidak membantah ataupun melawan saat Jalal terus menyeretnya hingga mereka sampai di mobil Jalal yang terparkir di halaman. Membuka pintu penumpang, Jalal mendorong Jodha masuk dan membanting pintunya.
Dengan kasar, Jalal menyalakan mobilnya dan melajukannya ke jalan raya. Jodha sudah bersiap menghadapi kemarahan Jalal yang pertama setelah mereka menikah. Wajahnya tidak menampakkan rasa takut sama sekali.
Jalal – “Aarrggghhhhh...”
Jalal memukul-mukulkan tangannya pada kemudi dengan frustasi.
Jalal – “Sudah kubilang jangan membuat masalah. Apa kau tidak paham sama sekali apa yang kukatakan?”
Jodha – “Aku tidak merasa melakukan hal yang salah.”
Jalal – “Kau TIDAK MERASA?? Apa kau tidak lihat hasil perbuatanmu tadi?!”
Jodha – “Aku tidak menyangka kalau dia akan pingsan. Sepertinya dia juga punya penyakit asma... lalu kambuh...”
Jalal – “Apa kau tidak pernah berpikir sebelum melakukan sesuatu?”
Jodha – “Kejadiannya tadi sangat cepat.. jadi aku tidak sempat berpikir...”
Jalal – “Apa yang sebenarnya kau katakan padanya sampai membuatnya pingsan??”
Jodha – “Aku tidak mengatakan apa-apa! Aku hanya berusaha menolongnya..”
Jalal – “Menolongnya dengan cara apa?! Kau sudah menghancurkan semua rencana yang kususun. Ingatlah, tujuanku menikahimu adalah untuk mendapatkan kepercayaan calon klienku. Tapi kau melakukan hal bodoh dan merusak semuanya. Tidak pernahkah sekalipun dalam hidupmu kau melakukan hal yang benar?? Apakah hidupmu hanya untuk menghancurkan hidup orang lain?!!”
Jodha diam saja mendengar semua tuduhan dan kata-kata kasar Jalal. Dia menyadari ada sebagian kata-kata Jalal yang memang benar.
Jodha – “Terserah.. Apapun yang kukatakan kau tidak akan percaya. Meski Tuan Rudolf memanggil polisi sekalipun untuk mengusutnya, aku yakin aku tidak bersalah.”
Jalal – “Sekarang aku yakin, keputusanku menikahimu adalah keputusan terburuk dalam hidupku.”
Setelah itu, mereka berkendara dalam diam. Benar-benar diam. Tidak ada musik dari radio mobil, apalagi obrolan. Sesampainya di New Delhi, Jalal menurunkan Jodha di apartemen, sedangkan Jalal terus melajukan kendaraannya, entah kemana.
Jodha naik ke apartemennya dengan langkah lunglai. Dia juga tidak menduga, tindakannya untuk menolong justru menimbulkan masalah yang lebih besar. Tapi Jodha tidak peduli, jika Jalal benar-benar marah padanya dan memutuskan tidak membutuhkannya lagi, Jalal bisa menceraikannya kapan saja. Jodha sudah menuruti keinginan Jalal untuk menikah, meski akhirnya bercerai secepat ini, dia rasa Jalal tidak akan menuntut lagi kepemilikan pabrik.
Jodha mengunci diri di dalam kamarnya. Meski terjaga sampai larut, Jodha tidak mendengar kedatangan Jalal – ‘Mungkin Jalal tidak pulang... Dia bisa saja menginap di hotel.. Aku hanya berharap istri Tuan Rudolf baik-baik saja.—
Jalal sengaja tidak pulang ke apartemennya semalam. Dia tidak ingin bertemu ataupun melihat wajah Jodha. Dia masih sangat marah dan frustasi. Akhirnya dia putuskan menginap di hotel. Awalnya, keputusannya mengenalkan Jodha pada Tuan Rudolf adalah demi kelancaran bisnisnya, namun justru berbalik menyerangnya seperti boomerang. Tuan Rudolf pasti tidak akan mau mempertimbangkan proposalnya lagi, dan bisa lebih buruk jika Tuan Rudolf memanfaatkan pengaruh kuatnya untuk menutup akses Jalal ke sejumlah proyek potensial. Alhasil, dia akan butuh waktu bertahun-tahun lagi untuk membangun kepercayaan klien-kliennya.
Pagi ini Jalal terbangun di sebuah kamar hotel. Meski waktu sudah menunjukkan pukul sembilan, tapi Jalal masih enggan untuk bersiap ke kantor. Setelan yang dikenakannya adalah setelan kemarin karena memang dia tidak bersiap untuk menginap di luar. Dia sudah menghubungi sopirnya agar segera mengantarkan setelan baru dari kamar apartemennya.
Satu jam kemudian, Jalal sudah berganti pakaian dan siap berangkat ke kantornya. Saat hendak melangkahkan kakinya keluar dari kamar hotelnya, ponselnya berdering. Di layarnya terlihat nama Tuan Rudolf. Sesaat Jalal ragu menjawabnya, namun cepat atau lambat dia pikir dia harus menghadapinya.
Jalal – “Selamat siang Tuan Rudolf.”
Tuan Rudolf – “Tuan Jalal, syukurlah akhirnya aku bisa menghubungimu. Beberapa kali aku menelpon kantormu dan sekretarismu mengatakan kau belum tiba di kantor.”
Jalal – “Benar, saya masih ada urusan di luar kantor.”
Jalal mencoba mencari alasan, tapi dia juga penasaran untuk urusan apa Tuan Rudolf repot-repot mencarinya.
Tuan Rudolf – “Begini Tuan Jalal, aku menghubungimu untuk mengundangmu bertemu. Bukan hanya aku, istriku juga ingin bertemu denganmu. Ajaklah istrimu juga. Kami ingin membicarakan hal yang terjadi kemarin.”
Jalal – “Begitu rupanya. Baiklah, saya akan datang ke villa anda siang ini.”
Tuan Rudolf – “Tidak perlu. Kami ada di kota New Delhi, saat ini kami di Tamra Restaurant. Bagaimana kalau anda kemari... Oh ya, jangan lupa ajak istrimu juga.”
Jalal – “Baiklah, saya segera kesana.”
Jalal agak sedikit heran, karena nada bicara Tuan Rudolf berlawanan dengan yang diduganya sebelumnya. Jika mengingat yang terjadi kemarin, harusnya dia masih memendam marah. Namun tadi tidak begitu. Meski hingga tadi pagi Jalal belum menemukan cara untuk mengantisipasi masalah yang terjadi kemarin, tapi dia sudah mempersiapkan diri seandainya Tuan Rudolf menuntut secara hukum maka dia juga sudah menyiapkan pengacara. Walau hanya berbicara di ponsel, tapi Tuan Rudolf lebih terdengar lega dan gembira saat berbicara di telepon tadi.
Setelah check out, Jalal langsung menuju mobilnya yang diparkir di basement. Membelah kemacetan New delhi, Jalal melajukan mobilnya ke tempat yang mereka sepakati. Sambil memegang kemudi, dia menghubungi Jodha, bagaimanapun itu permintaan Tuan Rudolf. Seandainya bisa, dia tidak ingin mengajak Jodha. Saat Jodha mengangkat ponselnya di seberang sana, dengan sangat singkat Jalal memerintahkan – “Datanglah ke Tamra Restaurant sekarang juga.” Hanya begitu saja, tanpa salam pembuka atau penutup, dan langsung dimatikan.
Sesampainya di pintu masuk Tamra Restaurant, Jalal menyerahkan mobilnya pada petugas valet. Lalu dia melangkah ke dalam dan memberitahu bagian reservasi bahwa dia ditunggu Tuan Rudolf Bernardt. Pramutamu itu mengerti dan mengawal Jalal menuju meja Tuan Rudolf. Suasana di dalam restauran masih agak lengang karena belum masuk waktu makan siang. Restauran ini adalah bagian dari hotel sekelas bintang lima yang menyajikan pilihan menu dari Asia dan Eropa. Interior restauran adalah perpaduan gaya minimalis, modern dan elegan.
Saat melihat kedatangan Jalal, Tuan Rudolf dan istrinya tersenyum dan berdiri menyambutnya.
Tuan Rudolf – “Tuan Jalal, senang sekali akhirnya anda datang. Ini istri saya, Martha, kemarin aku belum sempat mengenalkannya padamu.”
Jalal – “Nyonya Martha, selamat siang. Apa anda sudah sehat?”
Nyonya Martha – “Syukurlah, saya sudah sehat. Tapi dimana istri anda? Kenapa anda datang sendiri? Apakah suamiku lupa memberitahu kalau kami juga ingin bertemu istrimu?”
Jalal – “Tuan Rudolf sudah memberitahu, sebentar lagi dia akan menyusul. Kami tadi memiliki urusan yang berbeda jadi tidak bisa datang bersama-sama.”
Nyonya Martha – “Syukurlah, karena keadaan yang sedikit kacau kemarin aku jadi tidak bisa menyambut kalian dengan layak.... Kuharap kejadian kemarin tidak menimbulkan kesalahpahaman antara kita.”
Jalal – “Oh tidak... karena itulah saya...”
Nyonya Martha – “Ohhh... dia datang...”
Belum sempat Jalal menjawab, tiba-tiba Nyonya Martha berteriak senang. Arah tatapannya melewati punggung Jalal, senyumnya ditujukan pada seseorang di belakang Jalal. Penasaran, Jalal pun menoleh ke belakang.
Ternyata Jodha...
Jodha baru datang dan berjalan mendekat ke arah meja mereka. Nyonya Martha berdiri menyambutnya, dan langsung memeluk Jodha seakan dia sudah menunggu-nunggu saat ini.
Jodha yang tiba-tiba dipeluk juga terkejut. Bahkan untuk beberapa saat dia tidak bereaksi apa-apa. Tapi setelah Nyonya Martha mengatakan sesuatu, Jodha mulai paham apa yang terjadi...
Nyonya Martha – “Kau... penyelamat hidupku..”
Jodha – “Anda terlalu berlebihan.”
Nyonya Martha – “Tidak, seluruh rasa terima kasihku belum sepadan dengan apa yang sudah kau lakukan untukku.”
Jalal – “Aku tidak mengerti. Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?”
Tuan Rudolf – “Apakah istrimu tidak menceritakan semuanya?”
Jalal – “Eh... belum... kami... tidak sempat membahasnya.”
Tuan Rudolf – “Sebenarnya begini ceritanya...”
Sementara Tuan Rudolf mulai menceritakannya, ingatan Jodha juga merunut kembali awal mula semua yang terjadi kemarin...
Jalal dan Tuan Rudolf meninggalkan Jodha duduk sendirian di ruangan itu. Awalnya Jodha tidak keberatan, namun ketika ada tuntutan harus ke kamar kecil, terpaksa Jodha bangkit dari kursinya dan mencari letak kamar kecil sendiri karena tidak terlihat seorangpun di dalam rumah itu. Ternyata tidak susah mencarinya, karena letaknya ada di ujung koridor dari ruang duduk tadi.
Saat keluar dari kamar kecil, ada sebuah pemandangan yang menarik perhatiannya. Sebuah rumah kaca. Terlihat dari tempatnya berdiri, rumah kaca itu sangat indah, ditumbuhi berbagai macam tanaman dan bunga, termasuk white lily favoritnya. Karena rasa penasarannya, Jodha berbelok di koridor dan berjalan mendekati rumah kaca itu.
Saat masuk ke dalam, Jodha melihat punggung seorang wanita sedang sibuk menggaruk-garuk tanah di dalam pot.
Jodha – “Halo, selamat siang.. Boleh saya masuk dan melihat-lihat?”
Nyonya Martha – “Silakan.”
Jodha – “Perkenalkan nama saya Jodha, saya datang kesini bersama suami saya, Tuan Jalal, mereka sedang membicarakan masalah bisnis.”
Nyonya Martha – “Namaku Martha.”
Mendadak Jodha mendengar suara yang mencurigakan. Suara yang khas dan cukup menakutkan. Matanya mencari-cari ke segala arah. Dan disanalah, di bawah tumpukan pot, terlihat ekornya sedikit menyembul. Nyonya Martha tidak sadar bahwa ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka berdua. Agar Nyonya Martha tidak panik, Jodha belum merasa perlu memperingatkannya. Segera dia mencari alat di dekatnya untuk menangkap binatang itu. Sebuah sapu dan pot. Perlahan, dengan gagang sapu, Jodha menarik ekor binatang itu hingga akhirnya seluruh panjang tubuhnya terlihat. Itu adalah ular derik yang cukup berbisa dengan panjang tubuh seukuran ular dewasa. Saat tubuhnya ditarik, ular itu mendesis semakin keras. Saat itulah Nyonya Martha melihatnya dan spontan menjerit....
Dengan sigap, Jodha memerangkap kepala ular itu dan mengaitnya dengan gagang sapu. Gerakannya sangat cepat saat dia memindahkan pegangan tangannya dari sapu ke kepala ular. Begitu kepalanya bisa dipegang, Jodha langsung memasukkannya ke dalam pot dan menutup potnya dengan plastik lebar yang kebetulan ada disana lalu mengikatnya.
Setelah memastikan ular itu tidak bisa keluar, Jodha kemudian menoleh untuk memeriksa keadaan Nyonya Martha. Ternyata Nyonya Martha sudah tersungkur di lantai. Nafasnya tersengal-sengal. Tangan yang kanan memegangi lehernya, sedang yang kiri memegang dadanya. Jodha berusaha menahan tubuh Nyonya Martha dan mencoba untuk mendudukkannya. Agar Nyonya Martha bisa lebih mudah bernapas, Jodha mencoba menyelonjorkan kedua kakinya dan menyandarkan punggungnya.
Jodha – “Nyonya, tenangkan dirimu... Jangan panik.... tarik napas yang dalam... kau harus tetap sadar.... apa kau menderita asma? Dimana inhaler-mu?”
Nyonya Martha tidak dapat merespon pertanyaan Jodha. Matanya terlihat semakin terpejam dan tubuhnya mulai limbung. Jodha menjadikan tubuhnya sendiri sebagai sandaran. Dia menepuk-nepuk pipi Nyonya Martha untuk membuatnya sadar. Saat itulah Jalal dan Tuan Rudolf menghambur masuk...
Setelah selesai bercerita, Tuan Rudolf memandang istrinya seakan dia meminta persetujuan untuk sesuatu yang akan dikatakannya...
Tuan Rudolf – “Istriku memang punya penyakit asma. Tapi sudah lama tidak kambuh, jadi dia tidak sering lagi membawa inhaler-nya. Rupanya saat melihat ular itu memicu kepanikannya. Untunglah anda tidak ikut panik dan tahu cara menangani pasien asma. Aku berhutang budi padamu, Nyonya Jodha. Seandainya kau tidak disana atau terlambat sampai disana, tidak bisa kubayangkan apa yang akan terjadi pada istriku.”
Jodha – “Aku senang bisa menolong istri anda. Gejala sesak napas pada Nyonya Martha sesuai dengan ciri sakit asma, karena itulah saya mendesak anda memindahkan Nyonya Martha dari rumah kaca. Karena kadar udara di dalam rumah kaca bisa membuat semakin sesak napas.”
Nyonya Martha – “Kau seorang wanita tapi kau sangat berani. Biasanya kami wanita hanya bisa menjerit kalau melihat ular. Tapi kau bisa berpikir dengan cepat menghadapi ular itu. Aku tidak pernah berhadapan langsung dengan ular apalagi memegangnya. Aku bahkan tidak tahu kalau disana ada ular. Apa kau pernah menangani ular sebelumnya?”
Jodha – “Belum pernah.”
Nyonya Martha – “Lalu darimana anda belajar menghadapi ular seperti itu?”
Jodha – “Aku belajar dari seorang teman.”
Nyonya Martha – “Apakah temanmu seorang pawang ular?”
Jodha tertawa pelan mendengar pertanyaan Nyonya Martha.
Jodha – “Bukan, temanku seorang aktivis penyayang binatang. Dia bekerja di lembaga konservasi satwa. Dia juga mengajarkan padaku untuk tidak membunuh binatang apapun, kecuali memang sudah sangat terpaksa. Karena itulah aku hanya memasukkan ular itu ke dalam pot.”
Nyonya Martha – “Sampai sekarang aku masih terkesan dengan kecekatanmu. Suamiku, kalau kau melihatnya sendiri kau pasti juga akan terkagum-kagum. Tidak bisa kubayangkan dibalik kecantikanmu, kau memiliki kekuatan yang besar.”
Jodha – “Anda terlalu melebih-lebihkan. Saya hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Sama seperti cerita seorang anak sanggup menggendong ibunya yang bobotnya dua kali bobotnya sendiri saat harus menyelamatkannya dari sebuah bencana.”
Nyonya Martha – “Aku beruntung sekali mengenalmu. Kau wanita hebat. Maukah kau berteman denganku?”
Jodha – “Dengan senang hati.”
Tuan Rudolf – “Dan untuk mengukuhkan pertemanan yang baru kita jalin, aku ingin menjalin kerja sama dengan suamimu. Aku menyetujui proposal yang kau ajukan kemarin, Tuan Jalal.”
Jodha hampir melupakan kalau Jalal juga ada disana. Karena Jalal tidak bersuara sama sekali selama Tuan Rudolf bercerita tadi. Sekarang Jalal sudah tahu cerita sebenarnya, tapi Jodha tetap tidak tahu apa yang ada dalam pikiran suaminya itu. Saat Jodha menoleh, ternyata Jalal juga sedang memandang dirinya. Spontan Jodha memalingkan wajahnya ke depan lagi.
Jalal – “Terima kasih, saya pastikan akan bekerja sangat baik dan anda tidak akan menyesal.”
Tuan Rudolf – “Jujur saja, saya enggan bekerja sama dengan anda karena reputasi anda sebelumnya. Kemudian anda datang dengan mengenalkan istri anda. Saat itu saya masih curiga anda berusaha membodohi saya. Tapi mempertimbangkan apa yang telah dilakukan istri anda pada istri saya, membuat saya yakin, siapapun suaminya pasti akan merasa bangga.”
Nyonya Martha – “Benar, wanita baik seperti Nyonya Jodha pasti bisa menuntun suaminya pada kebaikan. Anda sangat beruntung menikahinya, Tuan Jalal.”
Jodha tersenyum kecut mendengar pujian Nyonya Martha dan suaminya. Andai saja mereka tahu yang sebenarnya....
*****************************
–NEXT--
Wah bang Jalal gampang banget ya emosi. Tapi untung dech kesalahpahamannya ma mba Jodha dah clear.
ReplyDeleteJalal bakalan minta maaf g y nanti ma Jodha?....
Thanks dah posting lagi, n always waiting for the next part... ok
Wah bang Jalal gampang banget ya emosi. Tapi untung dech kesalahpahamannya ma mba Jodha dah clear.
ReplyDeleteJalal bakalan minta maaf g y nanti ma Jodha?....
Thanks dah posting lagi, n always waiting for the next part... ok
Jalal tengsin tuuuhhh.......hayooo sekarang pasti lagi mikir gimana caranya minta maaf ke jodha.....itupun kalo dia masih punya hati huhhh......ayooo lanjouuuttttt nanda Chus...mba Tyas.....
ReplyDeleteSuka..suka..suka..
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya mba tyas..
*Penasaran bangeth
Jd penasaran,,,,,, kejutan apa lg yg dibuat jodha atas sikap jalal pdnya..... cusssss.....
ReplyDeleteJalal oh Jalal...blom tau istimewanya mbak Jodha y..ehmm..lanjut mbak Chus..
ReplyDeleteSuka sm.crita yg ini....sayangx lom ada lanjutanx...ditunggu ݪªª mbak...S̤̥̈̊є̲̣̥є̲̣̣̣̥♍ªªªηGªª†̥†̥̥
ReplyDeleteKapan ada,lanjutannya nihh, dah lama lo
ReplyDeleteAll... lanjutannya masih menunggu dari penulisnya... jadi sabar dulu ya...
ReplyDeleteOk non Arum Chusnianti, n moga g lama ya....
Deletetiap hari aku buka blog dan berharap ada Just Love Part 6, tapi belum ada sampai sekarang...
Sedih banget...